SASTRA: REVIEW ROMAN ATHEIS
Atheis
Akan hal romam Atheis karya Achdiat Kartamihardja yang terbit dan langsung meroket pada dekade 50-an, kita pun sungguh bisa menemukan keavntgandeahnya, sesuatu yang tidak kita jumpai baik pada Salah Asuhan maupun Belenggu. Tema dan ide cerita yang dikedepankan pengarang tidak tanggung-tanggung idiologi komunisme beserta seabrek kenegatipannya. Komunisme dalam romam Atheis bukan sebagai latar belakang cerita, melainkan benar-benar sebagai materi pokok yang dibahas secara mendalam, demikian mendalamnya pengarapan idiologi yang punya gaung internasioanl itu, sehingga rasanya, Atheis bisa dijadikan sebagai salah satu referen manakah kita ingin mengadakan studi tentang komunitas.
Untuk bisa menulis romam seberbobot Atheis pengarang tidak mungkin hanya mengadalkan kekuatan imajinasi dan kompentensi bahasa. Ia perlu mengadakan penelitian mendalam tentang obyek dan subyek kajian. Untuk itu, bukan tidak mungkin Achidat pun pernah mendatangkan rapat orang-orang PKI, di samping membaca buku-buku Karl marx, Lenin, Hegel serta tulisan orang komunis yang lain tentu mampu mengungkapkan persoalan komunisme sedetail dan semenarik Achdiat.
Point of view dalam roman ini adalah sudut pandang seseorang yang bersikap sangat hati-hati terhadap komunisme. Prajelas tidak, namun pengarang bisa menyerat dan menyikapi komunisme secara tidak emosional. Lewat roman Atheis, Acdiat bahkan bisa melacak segi-segi rasional komunisme, melukiskan secara hidup proses dan pergulatan batin seorang Hasan yang punya latar kesantrian dan ketasaufan, sampai-sampai tergelincir kemunisme, juga, lihai sekali Acdiat menggarap kecamuk yang melanda jiwa hasan, karena di situ sisi, Hasan solider terhadap teman-teman terdekatnya yang berhaluan komunis, tetapi disisi lain Hasan berontak terhadap mereka, karena ia masih merasa sayang dan takut untuk sepenuhnya meninggalkan agamnya. Penyesalan Hasan karena secara tidak langsung telah membunuh ayah kandungnya dengan keeteisannya itu, juga dilukiskan secara sangat hidup oleh pengarang.
Penokohan Rusli, Anwar, Kartini, Parto, sebagai orang berhaluan merah yang nihilis dan memasabodohkan moral dangan, digarap amat sugestif oleh achdiat. Namum, di sana Achdiat tidaklah sadang memprogandakan ajaran komunis. Praktek Komunistik yang ada dalam Atheis tidaklah dilakukan Achdiat dalam rangka menyebarluaskan doktrin tersebut tetapi justru untuk kita waspadai. Pengarang mengolah semua itu dengan teknik bertutur yang lancar, hidup dan memikat.
Meski persoalan yang dikategorikan pengarang tergolong berat dan rawan karena menyangkut politik, agama, bahkan, dan idiologi yang membahayakan negara, namum Achiat mampu menjaga karyanya untuk tidak terlalu bersifat ilmiah, menggurui dan doktriner. Sifat literir dan bentuk sastra masih berhasil dijaganya dengan baik.
Akan halnya teknik ungkap yang bersusun-susun karena ada dua aku, yakni aku pengarang daniaku lirik (Hasan) yang menulis otobiografi, serta gaya fleasback yang mencekam, Achdiat bukanlah menempuh jalur konvensional. Dalam sejarah Sastra Indonesi, gaya penceritaan flash back dengan penggunaan dua aku, termasuk langka. Achdiat adalah orang kedua yang menggunakan teknik ungkap demikian, setelah Hamka dengan Dibawah Lindungan Kabah nya yang sudah terbit pada dasa warsa 30-an.
Akan hal romam Atheis karya Achdiat Kartamihardja yang terbit dan langsung meroket pada dekade 50-an, kita pun sungguh bisa menemukan keavntgandeahnya, sesuatu yang tidak kita jumpai baik pada Salah Asuhan maupun Belenggu. Tema dan ide cerita yang dikedepankan pengarang tidak tanggung-tanggung idiologi komunisme beserta seabrek kenegatipannya. Komunisme dalam romam Atheis bukan sebagai latar belakang cerita, melainkan benar-benar sebagai materi pokok yang dibahas secara mendalam, demikian mendalamnya pengarapan idiologi yang punya gaung internasioanl itu, sehingga rasanya, Atheis bisa dijadikan sebagai salah satu referen manakah kita ingin mengadakan studi tentang komunitas.
Untuk bisa menulis romam seberbobot Atheis pengarang tidak mungkin hanya mengadalkan kekuatan imajinasi dan kompentensi bahasa. Ia perlu mengadakan penelitian mendalam tentang obyek dan subyek kajian. Untuk itu, bukan tidak mungkin Achidat pun pernah mendatangkan rapat orang-orang PKI, di samping membaca buku-buku Karl marx, Lenin, Hegel serta tulisan orang komunis yang lain tentu mampu mengungkapkan persoalan komunisme sedetail dan semenarik Achdiat.
Point of view dalam roman ini adalah sudut pandang seseorang yang bersikap sangat hati-hati terhadap komunisme. Prajelas tidak, namun pengarang bisa menyerat dan menyikapi komunisme secara tidak emosional. Lewat roman Atheis, Acdiat bahkan bisa melacak segi-segi rasional komunisme, melukiskan secara hidup proses dan pergulatan batin seorang Hasan yang punya latar kesantrian dan ketasaufan, sampai-sampai tergelincir kemunisme, juga, lihai sekali Acdiat menggarap kecamuk yang melanda jiwa hasan, karena di situ sisi, Hasan solider terhadap teman-teman terdekatnya yang berhaluan komunis, tetapi disisi lain Hasan berontak terhadap mereka, karena ia masih merasa sayang dan takut untuk sepenuhnya meninggalkan agamnya. Penyesalan Hasan karena secara tidak langsung telah membunuh ayah kandungnya dengan keeteisannya itu, juga dilukiskan secara sangat hidup oleh pengarang.
Penokohan Rusli, Anwar, Kartini, Parto, sebagai orang berhaluan merah yang nihilis dan memasabodohkan moral dangan, digarap amat sugestif oleh achdiat. Namum, di sana Achdiat tidaklah sadang memprogandakan ajaran komunis. Praktek Komunistik yang ada dalam Atheis tidaklah dilakukan Achdiat dalam rangka menyebarluaskan doktrin tersebut tetapi justru untuk kita waspadai. Pengarang mengolah semua itu dengan teknik bertutur yang lancar, hidup dan memikat.
Meski persoalan yang dikategorikan pengarang tergolong berat dan rawan karena menyangkut politik, agama, bahkan, dan idiologi yang membahayakan negara, namum Achiat mampu menjaga karyanya untuk tidak terlalu bersifat ilmiah, menggurui dan doktriner. Sifat literir dan bentuk sastra masih berhasil dijaganya dengan baik.
Akan halnya teknik ungkap yang bersusun-susun karena ada dua aku, yakni aku pengarang daniaku lirik (Hasan) yang menulis otobiografi, serta gaya fleasback yang mencekam, Achdiat bukanlah menempuh jalur konvensional. Dalam sejarah Sastra Indonesi, gaya penceritaan flash back dengan penggunaan dua aku, termasuk langka. Achdiat adalah orang kedua yang menggunakan teknik ungkap demikian, setelah Hamka dengan Dibawah Lindungan Kabah nya yang sudah terbit pada dasa warsa 30-an.