31/01/2014

Kalau kita membaca roman Siti Nurbaya, kita justru menemukan sesuatu yang agak janggal jika dipersepsi dengan nasionalisme Indonesia. Nilai didik apa sajakah yang kita temukan dengan penokohan Syamsul Bachri? Begitu putih cinta-kasihnya pada Siti Nurbaya, namun ketika ia menghadapi kenyataan yang sangat getir, yakni karena tak berdaya, dengan sungguh terpaksa kekasihnya menikah dengan Datuk Maringgih, Syamsul Bachri justru “mencari mati” dengan bertindak menjadi Letnan Mas, anggota tentara kerajaan Belanda yang gigih memerangi kaum pemberontak bangsanya sendiri. Demi dendam-kesumat Syamsul Bachri, pengarang, yakni Marah Rusli, merekayasa suatu skenario duel-meet antara Letnan Mas versus Datuk Maringgih yang berakhir dengan maut keduanya. Dengan gagah beraninya Letnan Mas alias Syamsul Bachri yang sakit hati pada Datuk Maringgih yang merebut kekasihnya, menumpas Datuk Maringgih beserta komplotannya yang membelot membayar pajak pada pemerintah kolonial. Apa pun motivasinya, bahwa Syamsul menyerang Sang Jagoan Tua dalam kapasitasnya sebagai tentara Belanda yang berusaha menghancurkan pemberontakan Datuk Maringgih, niscaya tidak bisa dinilai sebagai tindakan terpuji sang patriot dari kacamata Indonesia. Kalau kita cermati, episode ini justru menampakkan sikap pengarang yang kompromistis terhadap aturan main atas karya-karya yang memenuhi syarat Nota Rinkes. Hanya karena kecewa soal cinta, Syamsul Bachri frustrasi berat ingin dijemput maut, lalu masuk dinas militer dan kemudian terkenal sebagai Letnan Mas, lalu merasa berpeluang emas bisa memimpin pasukan untuk menindas pemberontakan yang disulut oleh Datuk Maringgih, musuh besarnya.


Meskipun Datuk Maringgih sendiri tidak digambarkan sebagai pejuang yang militan menghujat pemerintah kolonialis Belanda, namun sebenarnya, ia lebih Indonesia daripada Syamsul Bachri, karena sikap anti terhadap Belanda yang menjajah tanah airnya itu. Tidak peduli pembelotannya membayar pajak pada Belanda itu didorong oleh hasrat agar harta-bendanya tidak berkurang dan semacamnya, namun dengan sikap membelotnya itu, ia sudah menunjukkan keberaniannya untuk tidak taat pada perintah Sang Penjajah, satu sikap yang sebenarnya jauh lebih nasionalistik daripada sikap Syamsul Bachri yang sengaja bergabung dengan Belanda dan sempat menjadi tentara kerajaan sang penjajah. Hanya sayang, Datuk Maringgih bertabiat jelek, licik, culas, serakah, tega menipu teman sendiri.


Di samping tampil dengan sikap politik yang kompromistis dan berbaik-baik dengan pemerintah kolonial (mungkin ini dilakukan oleh pengarang semata agar karya-karyanya bisa diterbitkan), roman-roman Balai Pustaka didominasi oleh tema-tema sekitar adat kawin paksa, sikap otoriter orang tua dalam menentukan jodoh sang anak, konflik Generasi Muda versus Generasi Tua yang dimenangkan oleh pihak orang tua. Tokoh-tokoh cerita umumnya dilukiskan secara dikotomis hitam-putih, ekstrim; tokoh baik dilukiskan serba sempurna, fisik, penampilan, pandangan hidup, sikap dan moralnya serba baik dan ideal, sebaliknya, tokoh-tokoh jahatnya digambarkan serba jelek dan memuakkan, baik tampang lahiriah maupun moralitasnya, sampai-sampai, penyakit yang diidap tokoh antagonis ini pun merupakan penyakit kotor (tokoh Kasibun dalam Azab dan Sengsara). Pengarang dengan seadanya memotret realitas-realitas sosial yang terjadi ketika itu, dengan visi dan misi yang sejalan dengan politik pemerintah kolonial. Umumnya mereka tidak berani menentang arus atau menjadi oposisi. Mereka menyikapi adat kawin paksa, dominasi orang tua, sistem pendidikan, pola hidup dan budaya bangsa-bangsa Eropa yang menjajah di sini sebagai sesuatu yang wajar, positif, nyaris tanpa sikap kritis, meskipun hati nurani mereka berkata yang sebaliknya.


Sebetulnya, tidak ada benang merah dan relevansi antara Angkatan Balai Pustaka dengan pembinaan nasionalisme, aspirasi kemerdekaan Indonesia, menegakkan keadilan kebenaran dan memerangi kemungkaran dalam maknanya yang militan, apalagi semangat berkobar-kobar mengusir penjajah laknat. Sebagai penerbit pemerintah, Balai Pustaka tidak mau buku-buku yang diterbitkannya menjadi bumerang yang mendeskreditkan bos mereka.

Sang Gerimis . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates