19/02/2015

            Akan hal roman Atheis karya Achdiat Kartamihardja yang terbit dan langsung meroket pada dekade 50-an, kita pun sungguh bisa menemukan ke-avantgarde-annya, sesuatu yang tidak kita jumpai baik pada Salah Asuhan maupun Belenggu. Tema dan ide cerita yang dikedepankan pengarang tidak tanggung-tanggung: ideologi komunisme beserta seabrek segi kenegatifannya. Komunisme dalam roman Atheis bukan sebagai latar belakang cerita, melainkan benar-benar sebagai materi pokok yang dibahas secara mendalam, demikian mendalamnya pengarapan ideologi yang punya gaung internasional itu, sehingga rasanya, Atheis bisa dijadikan sebagai salah satu referen manakala kita ingin mengadakan studi tentang komunisme.


            Untuk bisa menulis roman seberbobot Atheis, pengarang tidak mungkin hanya mengadalkan kekuatan imajinasi dan kompentensi bahasa. Ia perlu mengadakan penelitian mendalam tentang objek dan subjek kajian. Untuk itu, bukan tidak mungkin Achidat pun pernah mendatangi rapat orang-orang PKI, di samping membaca buku-buku Karl Marx, Lenin, Hegel serta tulisan-tulisan orang komunis yang lain. Tanpa penjelajahan yang semacam itu, sangat sulis dibayangkan orang  mampu mengungkapkan persoalan komunisme semendetail dan semenarik Achdiat.


            Point of view dalam roman ini adalah sudut pandang seseorang yang bersikap sangat hati-hati terhadap komunisme. Bersiakp pro jelas tidak, namun pengarang bisa menyorot dan menyikapi komunisme secara tidak emosional. Lewat roman  Atheis, Achdiat bahkan bisa melacak segi-segi  rasional komunisme, melukiskan secara hidup proses dan pergulatan batin seorang Hasan yang punya latar kesantrian dan ketasaufan, sampai-sampai tergelincir ke kubangan komunisme. Juga, lihai sekali Achdiat menggarap kecamuk yang melanda jiwa Hasan, karena di situ sisi, Hasan solider terhadap teman-teman terdekatnya yang berhaluan komunis, tetapi di sisi lain Hasan berontak terhadap mereka, karena ia masih merasa sayang dan takut untuk sepenuhnya meninggalkan agamanya. Penyesalan Hasan karena secara tidak langsung telah membunuh ayah kandungnya dengan keatheisannya itu, juga dilukiskan secara sangat hidup oleh pengarang.


            Penokohan Rusli, Anwar, Kartini, Parto, sebagai orang berhaluan merah yang nihilis dan memasabodohkan moral, digarap amat sugestif oleh Achdiat. Namum, di sana Achdiat tidaklah sedang memprogandakan ajaran komunis. Adanya praktik ajaran komunisme  dalam Atheis tidaklah dilakukan Achdiat dalam rangka menyebarluaskan doktrin tersebut tetapi justru untuk kita waspadai. Pengarang mengolah semua itu dengan teknik bertutur yang lancar, hidup dan memikat dalam suatu cerita berbingkai yang berlapis-lapis.


            Meski persoalan yang dikategorikan pengarang tergolong berat dan rawan karena menyangkut politik, agama, bahkan ideologi yang membahayakan negara, namum Achiat mampu menjaga karyanya untuk tidak terlalu bersifat ilmiah, menggurui dan doktriner. Sifat literir dan bentuk sastra masih berhasil dijaganya dengan baik.


        Akan halnya teknik ungkap yang bersusun-susun karena ada dua aku, yakni aku pengarang dan aku lirik (Hasan) yang menulis otobiografi, serta gaya flashback yang mencekam, Achdiat bukanlah menempuh jalur konvensional. Dalam sejarah Sastra Indonesi, gaya penceritaan flash back dengan penggunaan dua aku, termasuk langka.. Achdiat adalah orang kedua yang menggunakan teknik ungkap demikian, setelah Hamka dengan Di Bawah Lindungan Ka’bah nya yang sudah terbit pada dasa warsa 30-an.


Sumber:


1. Simandjutak, B. Simorangkir. 1953. Kesusasteraan Indonesia. Jakarta: Yayasan Pembangunan Jakarta


2. Mujiyantono, Yan dan Amir Fuadi. 2006. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Surakarta: UNS Press

Sang Gerimis . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates