PUISI: SEPERCIK KISAH UNTUK KEKASIH
Sepercik kisah untuk kekasih
(sebuah renungan masa lalu)
Kelak saat mata hati terbuka, kau akan paham kenapa lidah ini begitu tega melepaskan anak panah menusuk lubuk hatimu yang lembut saat rona wajah menemukan harapan untuk memiliki selamanya.
Suatu saat kau akan mengerti betapa teganya aku mencaci diriku sendiri atas segala kebodohan masa laluku yang senantiasa memikirkan kesenangan sesaat dalam kefanaan yang dimiliki.
Duhai buah hati yang hancur karena hantaman badai kehidupan, ku tahu kenapa labuhan itu kembali kutemukan dalam langkahku yang tertatih saat kebenaran mereka tawarkan kepadaku. Sungguh ia aku terima, namun belum mampu untuk melepaskan apa yang telah menjadi tambatan perahu hatiku selama ini. Aku menginginkan keduanya bersama perjalananku, namun kenyataan pahit telah menawarkan pisau tajam kepadamu untuk mengerat kesadaran yang lembut itu.
Seakan tak ada lagi harapan kala kau sambut dingin lambaian maaf hati ini, pengharapan yang tak terjerat oleh perangkap zaman yang telah dimiliki orang lain.
Tak apa akan kuterima segala makian yang diberikan jika ia untuk kemenangan, tak harus sejalan dan tak pula harus dimiliki seluruhnya. Semua adalah ujian yang harus aku lalui dalam mencari cinta-Nya.
Duhai pengharapan biarlah aku berharap semua menjadi kebaikan yang akan mempertemukan berjuta kebaikan, bukan hanya keinginan sesaat untuk saling berdusta pada kata hati yang teramat suci untuk kita nodai.
Dalam prinsip kedewasaan yang mulai kau kecap, kelak akan mengerti akan arti sebuah pengorbanan yang ditebus dengan kasih sayang.
Sebuah pelajaran, hati tak mesti memiliki, mungkinkah kembali dalam genggaman angan yang kini semakin menjauh terbang hingga tak ada lagi dalam jangkauan pandangan kasar ini.
( akhir 2005)
(sebuah renungan masa lalu)
Kelak saat mata hati terbuka, kau akan paham kenapa lidah ini begitu tega melepaskan anak panah menusuk lubuk hatimu yang lembut saat rona wajah menemukan harapan untuk memiliki selamanya.
Suatu saat kau akan mengerti betapa teganya aku mencaci diriku sendiri atas segala kebodohan masa laluku yang senantiasa memikirkan kesenangan sesaat dalam kefanaan yang dimiliki.
Duhai buah hati yang hancur karena hantaman badai kehidupan, ku tahu kenapa labuhan itu kembali kutemukan dalam langkahku yang tertatih saat kebenaran mereka tawarkan kepadaku. Sungguh ia aku terima, namun belum mampu untuk melepaskan apa yang telah menjadi tambatan perahu hatiku selama ini. Aku menginginkan keduanya bersama perjalananku, namun kenyataan pahit telah menawarkan pisau tajam kepadamu untuk mengerat kesadaran yang lembut itu.
Seakan tak ada lagi harapan kala kau sambut dingin lambaian maaf hati ini, pengharapan yang tak terjerat oleh perangkap zaman yang telah dimiliki orang lain.
Tak apa akan kuterima segala makian yang diberikan jika ia untuk kemenangan, tak harus sejalan dan tak pula harus dimiliki seluruhnya. Semua adalah ujian yang harus aku lalui dalam mencari cinta-Nya.
Duhai pengharapan biarlah aku berharap semua menjadi kebaikan yang akan mempertemukan berjuta kebaikan, bukan hanya keinginan sesaat untuk saling berdusta pada kata hati yang teramat suci untuk kita nodai.
Dalam prinsip kedewasaan yang mulai kau kecap, kelak akan mengerti akan arti sebuah pengorbanan yang ditebus dengan kasih sayang.
Sebuah pelajaran, hati tak mesti memiliki, mungkinkah kembali dalam genggaman angan yang kini semakin menjauh terbang hingga tak ada lagi dalam jangkauan pandangan kasar ini.
( akhir 2005)