Puisi Determinisme Rendra
Puisi karya Rendra berikut ini dijadikan contoh determinisme (juga puisi-puisi Rendra yang lain seperti Aminah, Nyanyian Angsa, dan semacamnya). Teknik pengungkapan yang transparan, menafikan moral kata, melantarankan puisi ini cukup relevan untuk dijadikan contoh naturalisme juga :
NYANYIAN ADINDA UNTUK SAIJAH
Di Kalijodo aku menyanyi di dalam hati
Kawih asih seperti pohon tanpa daun
Mengandung duka seperti pohon tanpa akar
Saat adalah malam menanti pagi
Saijah, Akang!
Tanpa petunjuk dan jejak yang nyata
Tembang cintaku yang berdebu
Mencari kamu
Sebelum sepuluh tahun yang lalu
Cintaku tabah lagunya menderu
Tapi kini ia jengah
Merayap dengan penuh rasa malu
Akang, aku telah berdosa
Tanpa daya aku nodai cinta
Tak lama setelah Akang berangkat ke Sumatera
Aku gelisah dalam jaring rindu asmara
Setiap menjelang masa datang bulan
Wajahmu selalu membayang
Rasanya seperti menjadi gila
Setiap kali memuncak rasa rindu
Rasa gatal menjalar ke puting-puting susu
Rasa geli yang lembut di seluruh kulit perut
Sungai darah di tubuhku bergolak
Aku terengah-engah
Dan bernafas lewat mulut
Akang, alangkah berat rasanya
Bila jantungku berdetak
Jauh dari jantungmu
Pada suatu hari
Di masa aku linglung oleh rindu kepadamu
Aku kenal lelaki seperti seorang bapa
Di balai desa
Ia mandor proyek jalan raya
Di desa yang dirundung kemiskinan
Ia menjadi harapan dan hiburan
Suka berbagi rokok
Mampu memberi pekerjaan
Royal dalam pergaulan
Dan kata-katanya mengandung keramahan
Waktu itu aku berjualan kue ketan
Pisang rebus dan nasi dengan sayuran
Ia selalu memborong sisa dagangan
Kepada buruhnya dibagi-bagikan
Aku terpesona kepada kemampuan uangnya
Dan sikapnya yang seperti bapa
Kepadaku ia selalu berkata
Jangan ragu nyusul akang ke Sumatera
Dan bila di balik rumpun pisang
Ia memeluk pundakku
Tangannya terasa hangat dan nikmat
Membuat hidupku jadi sentosa
Lalu datang surat Akang dari Menggala
Akang bilang mau membuka ladang di Karta
Aku kembali linglung dan gila
Dada menjadi tungku dan rindu menjadi bara
Kepada Pak Mandor aku bercerita semuanya
Kembali pundakku merasakan pelukannya
Dalam kedamaian yang hangat ia berkata :
“ Siapkah dirimu
seminggu lagi kuantar kamu
menyusul Saijah ke Sumatera “
Ya Allah, seumur hidup belum pernah keluar desa
Kini gerbang dunia menjadi goda yang mempesona
Seluruh warga desa memberi restu
Waktu kami pamit berangkat ke Sumatera
Di dalam bis ia genggam tanganku
Rasanya sirna hidup yang miskin dan sengsara
Kami melaju ke arah surya
Apa tahuku tentang jalan ke Sumatera!
Tapi toh aku ada pandu, ada bapa
Ia mengajak nginap di Karawaci
Di waktu malam ia mengetuk pintu
Ia memberiku kain, selendang dan baju baru
Ketika aku meluap oleh rasa gembira
Ia memelukku dengan tiba-tiba
Tubuhnya rapat ke seluruh tubuhku
Susuku yang kenyal tertekan ke dadanya
Menyebabkan darahku bergelora
Tak bisa bilang tidak
Kepalaku hilang di dalam kemabukan
Ketika ia bertubu-tubi
Menciumi wajah dan leherku
Malam itu ia ambil perawanku
Keperkasaannya menindih kesadaranku
AkAng, sejak malam itu di Karawaci
Aku telah menodai cinta kita
Aku telah menjamah dosa
Dan melengkapkannya ke dadaku
Ya, Akang, aku telah menikmati candu dunia
Malam itu sambil terlentang dengan lunglai
Dan mendengar ia mendengkur di sampingku
Aku telah bertekad
Untuk menyerahkan jiwa ragaku
Kepada lelaki itu
Aku pikir aku akan jadi istrinya
Ternyata ia hanya ingin menjadi tuan
Dan menikmati diriku selama sebulan
Tetapi aku ikhlas mengabdi
Tanpa melawan
Selanjutnya pada suatu hari
Ia bawa aku ke Cikupa
Di mana semua orang mengenalnya
Memang benar ia mandor
Tetapi rupanya
Ia juga majikan pelacuran
Bagaikan tertenung
Menikmati cinta dan derita
Aku selalu mematuhinya
Aku menjadi pelacur kesayangan
Di antara para sopir truk menjadi rebutan
Aku menjadi dagangan yang menguntungkan
Diedarkan ke Karawaci
Cimone, Cikupa, dan Balaraja
Di Cilegon aku diantri
Dari karawaci sampai ke Merak
Di sepanjang jalur jalan pembangunan
Dari desa yang porak-poranda
Muncullah gadis-gadis remaja
Menjadi bunga di warung-warung pelacuran
Pabrik dan pelacuran
Adalah satu pasangan
Orang Korea, Jepang dan Jerman
Semua sudah aku rasakan
Adalah di Cilegon
Aku pertama terkena rajasinga
Dengan tabah aku lawan penyakitku
Di jagat raya tidak kurang obat-obatan
Dan ketika kembali seperti sediakala
Majikan membawa aku ke Ancol, Jakarta
Jakarta, oh, Jakarta!
Pohon lampu-lampu neon
Sungai raya dengan arus mobil dan bis kota
Langganan yang bersih dan kaya
Setiap subuh sarapan di restoran
Bangun siang terus ke toko berbelanja
Hidup rasanya seperti mimpi
Tanpa bumi
Banyak yang terjadi
Tanpa ada yang masuk ke hati
Aku hanyut di dalam aneka pengalaman
Di mana selalu bukan aku yang berkuasa
Segala ingatan kepadamu, Akang
Segera aku singkirkan
Rasa malu kepadamu
Aku benamkan ke dalam batin kebal rasa
Rajasinga demi rajasinga aku kalahkan
Sampai pada suatu hari
Aku merasa demam tinggi
Dan tubuhku terasa tanpa tulang
Sejak saat itu
Aku dirundung sakit tak tersembuhkan
Rasa lemas tanpa daya
Kanker rahim
Berulang kali keputihan
Bagaikan barang rongsokan
Nilaiku merosot
Menjadi pelacur ketengan
Mengembara ke Kalideres
Muara Angke, Tanah Abang Bongkaran
Dan Jati Petamburan
Sebagai mahluk setengah bangkai
Aku terlindung di tempat-tempat ini
Yang sudah sah
Menjadi gua-gua sampah
Aku bercampur dengan mereka
Cendawan-cendawan kehidupan
Menghibur para lelaki kumuh
Yang pura-pura lupa kemiskinan
Akhirnya, Akang
Aku tersingkir ke Kalijodo
Tanpa rumah
Tanpa kesehatan
Tanpa perlindungan
Kini, di malam hari
Teronggok di tepi jalan raya ini
Sambil menghadap kiblat arah desa kita
Aku merasa mengambang
Di udara yang gelap gulita
Seakan aku mabuk dan mati rasa
Jasadku tak berdaya
Dunia lenyap
Segala macam peristiwa berlalu
Namun tanpa aku duga
Di dalam senyap muncul wajahmu
Ada kehangatan terasa di jidatku
Kepada bayangan wajahmu
Aku tembangkan kawih asih yang berdebu
Dengan mulutku yang bisu, biru, ternganga, dan kaku
Akang, kamu seperti dewa
Sangat jauh dan mulia
Maafkan, aku sudah berdosa
Tembangku ini, Akang
Ingin bergayut di pucuk bambu
Sia-sia
Ia disambar truk gandeng yang lewat menderu
Bila tembangku ini selesai, Akang
Aku mati
Depok, 14 Januari 1991
(dari kumpulan puisi “ Orang-orang Rangkasbitung”, hal 42 – 51)
NYANYIAN ADINDA UNTUK SAIJAH
Di Kalijodo aku menyanyi di dalam hati
Kawih asih seperti pohon tanpa daun
Mengandung duka seperti pohon tanpa akar
Saat adalah malam menanti pagi
Saijah, Akang!
Tanpa petunjuk dan jejak yang nyata
Tembang cintaku yang berdebu
Mencari kamu
Sebelum sepuluh tahun yang lalu
Cintaku tabah lagunya menderu
Tapi kini ia jengah
Merayap dengan penuh rasa malu
Akang, aku telah berdosa
Tanpa daya aku nodai cinta
Tak lama setelah Akang berangkat ke Sumatera
Aku gelisah dalam jaring rindu asmara
Setiap menjelang masa datang bulan
Wajahmu selalu membayang
Rasanya seperti menjadi gila
Setiap kali memuncak rasa rindu
Rasa gatal menjalar ke puting-puting susu
Rasa geli yang lembut di seluruh kulit perut
Sungai darah di tubuhku bergolak
Aku terengah-engah
Dan bernafas lewat mulut
Akang, alangkah berat rasanya
Bila jantungku berdetak
Jauh dari jantungmu
Pada suatu hari
Di masa aku linglung oleh rindu kepadamu
Aku kenal lelaki seperti seorang bapa
Di balai desa
Ia mandor proyek jalan raya
Di desa yang dirundung kemiskinan
Ia menjadi harapan dan hiburan
Suka berbagi rokok
Mampu memberi pekerjaan
Royal dalam pergaulan
Dan kata-katanya mengandung keramahan
Waktu itu aku berjualan kue ketan
Pisang rebus dan nasi dengan sayuran
Ia selalu memborong sisa dagangan
Kepada buruhnya dibagi-bagikan
Aku terpesona kepada kemampuan uangnya
Dan sikapnya yang seperti bapa
Kepadaku ia selalu berkata
Jangan ragu nyusul akang ke Sumatera
Dan bila di balik rumpun pisang
Ia memeluk pundakku
Tangannya terasa hangat dan nikmat
Membuat hidupku jadi sentosa
Lalu datang surat Akang dari Menggala
Akang bilang mau membuka ladang di Karta
Aku kembali linglung dan gila
Dada menjadi tungku dan rindu menjadi bara
Kepada Pak Mandor aku bercerita semuanya
Kembali pundakku merasakan pelukannya
Dalam kedamaian yang hangat ia berkata :
“ Siapkah dirimu
seminggu lagi kuantar kamu
menyusul Saijah ke Sumatera “
Ya Allah, seumur hidup belum pernah keluar desa
Kini gerbang dunia menjadi goda yang mempesona
Seluruh warga desa memberi restu
Waktu kami pamit berangkat ke Sumatera
Di dalam bis ia genggam tanganku
Rasanya sirna hidup yang miskin dan sengsara
Kami melaju ke arah surya
Apa tahuku tentang jalan ke Sumatera!
Tapi toh aku ada pandu, ada bapa
Ia mengajak nginap di Karawaci
Di waktu malam ia mengetuk pintu
Ia memberiku kain, selendang dan baju baru
Ketika aku meluap oleh rasa gembira
Ia memelukku dengan tiba-tiba
Tubuhnya rapat ke seluruh tubuhku
Susuku yang kenyal tertekan ke dadanya
Menyebabkan darahku bergelora
Tak bisa bilang tidak
Kepalaku hilang di dalam kemabukan
Ketika ia bertubu-tubi
Menciumi wajah dan leherku
Malam itu ia ambil perawanku
Keperkasaannya menindih kesadaranku
AkAng, sejak malam itu di Karawaci
Aku telah menodai cinta kita
Aku telah menjamah dosa
Dan melengkapkannya ke dadaku
Ya, Akang, aku telah menikmati candu dunia
Malam itu sambil terlentang dengan lunglai
Dan mendengar ia mendengkur di sampingku
Aku telah bertekad
Untuk menyerahkan jiwa ragaku
Kepada lelaki itu
Aku pikir aku akan jadi istrinya
Ternyata ia hanya ingin menjadi tuan
Dan menikmati diriku selama sebulan
Tetapi aku ikhlas mengabdi
Tanpa melawan
Selanjutnya pada suatu hari
Ia bawa aku ke Cikupa
Di mana semua orang mengenalnya
Memang benar ia mandor
Tetapi rupanya
Ia juga majikan pelacuran
Bagaikan tertenung
Menikmati cinta dan derita
Aku selalu mematuhinya
Aku menjadi pelacur kesayangan
Di antara para sopir truk menjadi rebutan
Aku menjadi dagangan yang menguntungkan
Diedarkan ke Karawaci
Cimone, Cikupa, dan Balaraja
Di Cilegon aku diantri
Dari karawaci sampai ke Merak
Di sepanjang jalur jalan pembangunan
Dari desa yang porak-poranda
Muncullah gadis-gadis remaja
Menjadi bunga di warung-warung pelacuran
Pabrik dan pelacuran
Adalah satu pasangan
Orang Korea, Jepang dan Jerman
Semua sudah aku rasakan
Adalah di Cilegon
Aku pertama terkena rajasinga
Dengan tabah aku lawan penyakitku
Di jagat raya tidak kurang obat-obatan
Dan ketika kembali seperti sediakala
Majikan membawa aku ke Ancol, Jakarta
Jakarta, oh, Jakarta!
Pohon lampu-lampu neon
Sungai raya dengan arus mobil dan bis kota
Langganan yang bersih dan kaya
Setiap subuh sarapan di restoran
Bangun siang terus ke toko berbelanja
Hidup rasanya seperti mimpi
Tanpa bumi
Banyak yang terjadi
Tanpa ada yang masuk ke hati
Aku hanyut di dalam aneka pengalaman
Di mana selalu bukan aku yang berkuasa
Segala ingatan kepadamu, Akang
Segera aku singkirkan
Rasa malu kepadamu
Aku benamkan ke dalam batin kebal rasa
Rajasinga demi rajasinga aku kalahkan
Sampai pada suatu hari
Aku merasa demam tinggi
Dan tubuhku terasa tanpa tulang
Sejak saat itu
Aku dirundung sakit tak tersembuhkan
Rasa lemas tanpa daya
Kanker rahim
Berulang kali keputihan
Bagaikan barang rongsokan
Nilaiku merosot
Menjadi pelacur ketengan
Mengembara ke Kalideres
Muara Angke, Tanah Abang Bongkaran
Dan Jati Petamburan
Sebagai mahluk setengah bangkai
Aku terlindung di tempat-tempat ini
Yang sudah sah
Menjadi gua-gua sampah
Aku bercampur dengan mereka
Cendawan-cendawan kehidupan
Menghibur para lelaki kumuh
Yang pura-pura lupa kemiskinan
Akhirnya, Akang
Aku tersingkir ke Kalijodo
Tanpa rumah
Tanpa kesehatan
Tanpa perlindungan
Kini, di malam hari
Teronggok di tepi jalan raya ini
Sambil menghadap kiblat arah desa kita
Aku merasa mengambang
Di udara yang gelap gulita
Seakan aku mabuk dan mati rasa
Jasadku tak berdaya
Dunia lenyap
Segala macam peristiwa berlalu
Namun tanpa aku duga
Di dalam senyap muncul wajahmu
Ada kehangatan terasa di jidatku
Kepada bayangan wajahmu
Aku tembangkan kawih asih yang berdebu
Dengan mulutku yang bisu, biru, ternganga, dan kaku
Akang, kamu seperti dewa
Sangat jauh dan mulia
Maafkan, aku sudah berdosa
Tembangku ini, Akang
Ingin bergayut di pucuk bambu
Sia-sia
Ia disambar truk gandeng yang lewat menderu
Bila tembangku ini selesai, Akang
Aku mati
Depok, 14 Januari 1991
(dari kumpulan puisi “ Orang-orang Rangkasbitung”, hal 42 – 51)
3 komentar
Puisinya mantap,dan sepertinya pernah dijadikan salah satu film di televisi swasta....
REPLYsaya mmbaca bbrp tulisan anda. wah tulisannya lumayan...sayangnya saya ga punya blog. kalo mungkin berkenan ini salah satunya di fb...silahkan mmbaca. link: http://www.facebook.com/notes/karunia-putra/anak-panah-terakhir/10150456016161436
REPLYmerinding euy...eeessttt
REPLY