Drama: Barabah (Karya: Motinggo Busye)
Dari sekian banyak naskah drama yang ingin saya muat di blog ini, naskah drama "barabah" adalah salah satu naskah drama yang sepertinya cocok untuk dipakai latihan analisis naskah drama maupun latihan pementasan drama.
Penggalan pertama:
RUANG TENGAH SEBUAH RUMAH DENGAN DINDINGNYA TANDUK MENJANGAN DAN TOPI TUA DARI LUAR TERDENGAR TERIAKAN MEMANGGIL-MANGGIL.
BANIO : (dari luar) Barabaaahh!! (makin dekat) Ooooiii, Barabaaah!!(muncul dari pintu, seorang tua umur 70 tahun, membawa cangkul) Barabaaahhh, oi Barabah! (lalu duduk di kursi menyeka keringat, mencium kopiahnya)
BARABAH :(dari dalam membawa gelas kaleng berisi kopi) Tangan bapak luka?
BANIO : Biar!
BARABAH : (meletakkan kopi di meja) Oh …..
BANIO : (membentak) Apa? Oh…
BARABAH : Tangan bapak luka (menjamah tangan suaminya, tapi Banio menyentak)
BANIO : (setelah minum kopi) Kopimu enak.
BARABAH : Iya
BANIO : Barabaaahhh. (memanggil dengan pelan)
BARABAH : Ya, pak (berdiri mendekati)
BANIO : Tolong pijit-pijit kepalaku.
BARABAH : Apa mau dikerok lagi?
BANIO : Malu aku.
BARABAH : Kenapa, pak?
BANIO : Punggungku sudah bongkok. Nanti engkau tahu pula pungungku bongkok.
BARABAH : Punggung bapak belum bongkok.
BANIO : Siapa bilang pungung bapak bongkok? (tegak berdiri sambil meraba pungungnya). Siapa bilang tidak? Lihatlah, lihatlah, lihat. (bergerak dari matanya melirih pada isterinya, sementara itu peluit kereta api makin kedengaran jauh. Kemudian duduk dan Barabah masih berdiri di depannya) Kenapa kau masih berdiri di situ?
BARABAH : Ibah kan mau mijit kening bapak.
BANIO : Tak usah, aku tak pening lagi. Barabaaahhh
BARABAH : Ya paaaakkkk!
BANIO : Aku sudah tua, ya.
BARABAH : Belum, pak.
BANIO : Bohong. Aku sudah tua, Barabah.
BARABAH : Belum, pak.
BANIO : (berdiri tegak menghentakkan kaki di lantai) Bohong. Coba terus terang katakana aku sudah tua. Semua bini-bini memanggil kalinya dengan sebutkan layak. Mereka itu tidak memanggil bapak atau pak kepada lakinya. Kalau ada orang datang ke rumah ini kamu memanggil apa kepadaku?
BARABAH : (sanbil tersenyum menjawab lincah) Ibah akan memanggil bapak?
BANIO : (dengan suara mendaulat) kenapa?
BARABAH : KarenaIbah tidak bisa merubahnya lagi.
BANIO : Bukan karena aku sudah tua bangka?
BARABAH : Bukan.
BANIO : Bohong. Terang-terangan saja, aku sudah tua, bongkok.
BARABAH : Ibah berani sumpah pak.
BANIO : Sumpah apa? Sumpah apa? Kau berani nanti malam datang ke kuburan tidak memakai obor? Tentu kau tidak berani. Barabah, aku sudah tua ya? Barabah, aku sudah tua ya? Barabah, aku sudah tua. Sebentar lagi aku akan mati, barangkali lima atau enam tahun lagi. Kalau aku mati apa kau akan menangis, Barabah?
BARABAH : Aku nangis dikuburan selama seminggu.
BANIO : Sesudah menangis selama seminggu dan air matamu kering kau akan nangis lagi Barabah?
BARABAH : Ibah akan nangis lagi kalau punya air mata.
BANIO : Bohong! (sambil berteriak) Sesudah matamu bengkak, karena menangis seminggu itu, seminggu kemusian matamu tidak bengkak lagi, dan hari itu ….ya, hari itu kau dilamar orang. (Barabah tertawa) Kenapa kau tertawa?
BARABAH : Lucu!
BANIO : Memang lucu. (keduanya tertawa menikmati kelucuan itu, tapi katawa Barabah saja masih membunga, sedangakan ketawa Banio sudah disihir oleh peranan luput) Barabah.
BARABAH : Ya, paakkk. Lelucon lagi?
BANIO : Bukan! Koq kita hidup ini lelucon saja isinya?
BARABAH : Apa? (sambil mendekat memegang kuduk Banio dengan mesra sekali)
BANIO : jangan pegang rambut kudukku. Geli!
PAUSE : Barabaaahhh??
BARABAH : Apa?
BANIO : Aku sudah kakek-kakek kelihatnya? Ah, jangan jawab. Tentu kau akan bilang tidak pak atau belum pak!
PAUSE : Aku tadi lewat di depan Kantor JAPENKAB, membaca Koran.
BARABAH : (memotong) JAPENKAB?
BANIO : Bodoh! JawatanPeneranganKabupaten. Orang-orang sekarang terlalu sibuk. Sebab dunia mulai kiamat, sehingga memanggil Walikota dengan sebutan walkot saja, tapi aku membaca Koran dunia akan kiamat. Aku benci sama tukang ramal itu. mereka-mereka pembohong-pembohong. Tapi aku percaya sekali waktu aku akan mati. Tapi aku belum mau mati sebelum aku mempunyai anak laki-laki. (Barabah tersenyum sambil memegang perutnya, seperti ada yang bergerak dalam perutnya). Kenapa kau tersenyum sendiri. Gila! Atau kau mau tertawakan saja, dari sebelas perempuan yang kukawini, aku tidak pernah punya anak laki-laki. Kau tahu, dulu aku ahli penabuh gendering sehingga aku pernah bermimpi punya anak laki-laki yang pintar menabuh gendering, drum-tam-tam-drum-tam-tam berjalan berkeliling kota dalam barisan dengan terompet tot-tit-tet-drum-tam-drum-tam. He, barabah masih kau simpan juga tambur itu?
BARABAH : Masih di gudang.
BANIO : Aku dulu lelaki mata keranjang. He, kenapa tertawa kau? Emang dulu aku dibenci gadis-gadis. Sebetulnya gadis itu bukan benci. Mereka sebetulnya takut tidak memilikinya. Kebodohan gadis-gadis itu sama umumnya dunia perjudian. Mereka judikan dirinya. Mereka kira dirinya kerta totalisator aepak bola. Ooooo, dulu au bukan jagoan taruhan. Aku dulu bintang lapangan, Barabah. He, kapan diumumkan hasil totalisator PSSI lawan RRC Barabah? Kalau dapat ratusan ribu lagi seperti SiMansyur, aku akan sumbangkan pada Depsos.
BARABAH : Depsos
BANIO : Bodoh kau! Departemen sosial yang mengurus kesejahteraan rakyat banyak. Aku ingat si Mansyur, Barabah. Aku tidak mau rebut-ribut dengan si Mansyur bedebah itu. memang Mansyur goblok! Sangkanya tanah itu akan dibawanya mati, sehingga mau bertengkar dengan UU Landrefrom. Betul-betul ketinggalan zaman! Dasar mansyur goblok! Dalam hidupnya dia orang yang berangan-angan akan memiliki tanah, tanah sejagad ini. Padahal kalau ia mati, orang Cuma memerlukan tanah paling banyak hanya dua meter buat kuburan. Betul juga usulmu,ketika aku berkelahi dengan polisi dulu perkara tanah itu. kau bilang, keserakahan tak selamanya membawa laba, tetapi membikin dekat dengan kehancuran. Wahai pepatah kuno kau itu masih juga bisa dipakai! Betul, tidak? He, aku tadi cerita apa?
BARABAH : Dunia kiamat dalam Koran.
BANIO : O ya, dunia dalam Koran, ya, dunia memang akan kiamat. Jadi ia tidak bisa memiliki tanah dua meter dua jengkal pun tak keburu lagi buat membikin kuburnya. (pergi ke jendela memandang keluar) lihat alangkah suburnya tanah itu, Barabah.
BARABAH : Dimana akan dibikin rumah Si Godam
BANIO : SiGodam
BARABAH : Kan dulu bapak inginkan rumah SiGodam?
BANIO : Apa aku pernah punya anak laki-laki selama ini?
BARABAH : Kan Bapak sudah bilang padaku, kalau(memegang perutnya) anakku laki-laki.
BANIO : (Ketawa) Dulu, o, iya, ya, ya, ya, ya, Si Godam yang bisa pukul tambur tram, tram ,nanti itu. he, barabah apa kau bisa menjamin bahwa ankmu itu laki-laki kelask?
BARABAH : Tiap ibu tahu siapa yang ada dalam perutnya.
BANIO : TuhanMahaTahu.
BARABAH :He, bapak dulu cerita bagaimana nanti hebatnya Si Godam yang bisa pukul gendering, tram,tram, tram dan diapit oleh bendera merah putih dan rakyatnya menonton bersorak-sorai.
BANIO : (memotong) HidupGodam, hidup Godam! Kemudian ada yang berkata “itu Godam anak Pak Banio dan si Barabah”. Kau tahu Barabah, apa artinya Godam?
BARABAH : Palu berduri tajam.
BANIO : Palu yang berduri tajam, ya, ya ….(menunjuk keluar jendela) di sana akan didirikan tempat latihan dramanya si Godam tidak boleh gagal perkawinannya seperti bapaknya. O ya …. Siapa nama biniku yang pertama, Barabah?
BARABAH : Kalau tidak salah Jamilah.
BANIO : Ya, jamilah! Penasaran aku sama Jamilah. He, siapa nama isteriku yang kedua?
BARABAH : (menjawab dengan spontan) Rabiatun!
BANIO : O ya, Rabiatun. Kau tahu apa yang ditanyakan pamannya padaku?
PAUSE : Kau pegawai negeri? Lalu kujawab dengan jujur, saya marsose, pak. Berapa gajimu sebagai marsose.
BARABAH : SemuaRabiatun, Rabiatun itu sedang pontang-panting.
BANIO : (berteriak) Betul! (ingat sesuatu) He, sudah kuceritakan kisah Rabiatun-Rabiatun itu?
BARABAH : Sudah sebelas kali.
BANIO : (sambil memeijit-mijit kepalanya) kau ingat nama isteriku yang ketiga?
BARABAH : Bapak sendiri yang bilang bahwa bapak lupa nama isterinya yang ketiga.
BANIO : Oh ya, aku lupa, yang keempat aku juga lupa. Tapi yang kelima tidak!
BARABAH : (dengan suara ditekan) yang main gila dengan laki-laki itu.
BANIO : Ya, ya, perempuan memang berbahaya, barabah. Ia berbahaya jika membutuhkan lebih dari seorang laki-laki untuk kepuasannya.
BARABAH : (berteriak)Aku tidak mau!!
BANIO : Kenapa tidak mau??
BARABAH : Ibah tidak pernah main gila!!
BANIO : Apa aku tuduh kau? He? He?
BARABAH : Tapi kata-kata itu menyindirku. (Barabah menangis, Banio mendekati)
BANIO : Bukan kau, barabah. Kau bagus. Namamu pun bagus. Burung pemakan pisang. Aku dulu suka melihat burung Barabah memakan pisang. Tapi kau burung barabah yang memberikan pisang pada perutmu. Betul tidak? (Barabah tersenyum) kenapa senyum-senyum? Aku lupa nama isteriku yang kesembilan. Kau ingat Barabah?
BARABAH : Ingat, yang kawin dengan Belanda ketika bapak ditawan.
BANIO : Dia berkhianat dua kali. Pertama, dia berkhianat pada lakinya. Kedua, pada tanah air. O, bukan, bukan, bukan dua kali. Tiga kali. Dia membawa anak perempuan yang coklat-coklat kulitnya ke negeri Belanda. Aku tidak tahu bagaimana mereka mencat muka anak perawanku menjadi putih supaya menjadi Belanda (Barabah diam saja, ketawa sedikit) ini lucu! (BARABAHBAHKAN CEMBERUT) Kenapa kau tidak tertawa?
BARABAH : Ibah cemburu!
BANIO : Cemburu? Kau juga punya rasa cemburu seperti kebanyakan perempuan?
BARABAH : Ibah cemburu, bapak akan kawin lagi. Kaum perempuan akan cemburu kalau suaminya cerita tentang perempuan lain.
BANIO : Kawin lagi? Apa aku ini kau kira akan merebut rekor perkawinan seperti orang-orang merebut gelar pemain bola yang paling banyak mencetak goal?
BARABAH : bapak dulu pernah bilang bapak akan kawin lagi.
BANIO : Kapan, coba kapan? Aku bisa marah nih, aku bisa marah nih.
BARABAH : Dua bulan yang lalu.
BANIO : O, oooo itu Cuma main-main. Itu Cuma gertak sambal. Suami-suami perlu sesekali menguji isteri. (menghirup kopi) Aku sudah tua. Barabah. Dan ini adalah perkawinanku yang keduabelas dan terakhir. Aku piker itu sudah rekor. Aku piker aku sudah pantas dapat piala (Barabah diam saja) kenapa kau terdiam? Kau tentunya pro pada bekas-bekas isteriku itu. baik, baik, baiklah, Barabah! Sebab kau perempuan. Tapi jangn minta aku nagis-nagis di depan perempuan, tersedu-sedu sebab keggalanku selama ini. Aku ini orang yang gagal, Barabah. Aku bukan laki-laki cengeng. Aku tak bisa menangis lagi. Aku tak mau menangis, kau dengar?
BARABAH : Aku dengar (Banio menuju ke jendela)
BANIO : Baru sekarang aku tahu tanah-tanah itu subur. Ketika aku sudah tua, bongkok dan ubanan dan sebenarnya tidak laku lagi. He, Barabah, jangan kau menaruh cemburu kepada aku. Ini sudah tidak laku lagi meskipun ditawarkan di pasar rombengan atau pajak gadai. Yang penting Barabah, bairpun barang-barang loakan, situs ini, tapi masih punya semangat semacam tram, tram, tram …. He, barabah, bagaimana dengan sambal pete? Aku mau bongkar rumput lalang itu sebentar lagi (minum kopi). Lalang itu berbahaya untuk ladang, akarnya harus dicabut, Barabah! (Banio terus makan) Terlalu asin ikan ini. (kemudian berdiri, Banio melemparkan selempahnya kepada Barabah yang lalu menggulung rokok ripah di jendela) Aku kepingin naik kapal terbang satu kali.
BARABAH : Naik kapal terbang.
BANIO : Ya, naik kapal terbang. Cuma itu yang belum kunaiki. Aku pernah naik mobil sepur, pernah naik kuda dan kerbau, pernah naik gunung. Semua sudah kunaiki kecuali naik kapal terbang. Aku pernah melihat foto BungKarno naik Holikopter.
BARABAH : Bapak bersihkan saja ilalang itu. nanti kapal terbang bisa mendarat di situ (sambil memberikan rokok)
BANIO : (memasukan rook ke mulut) Mana korek apinya?
BARABAH : Itu kan di atas meja.
BANIO : Oya, tapi tolong nyalakan, ah. (Barabah meletakkan korek, ditiup, dinyalakan lagi, ditiup lagi, akhirnya yang ketiga Banio tidak meniupnya. Barabah yang memejamkan matanya, kaget ketika muka terkena asap rokok. Mereka tersenyuim) dari sebanyak biniku, Cuma kaulah, hemm, malu aku menyebutnya yang satu ini, hemm, Cuma kaulah Barabah, yang bisa menghidupkan korek api. Aku takkan kawin lagi (menepuk bahu isterinya lalu menghilang)
Penggalan Kedua:
BARABAH MELIHAT ADA ORANG YANG DATANG, CEPAT MASUK KAMAR UNTUK MEMBETULKAN RAMBUTNYA KETIKA MUNCUL LAGI, ORANG ITU, WANITA MUDA TELAH BERDIRI DI PINTU.
BARABAH : Ada apa?
ZAITUN : Mereka berkejar-kejaran
BARABAH : Apa?
ZAITUN : Cecak
BARABAH : Cecak atau tikus??
ZAITUN : Cecak. Sepasang cecak yang segang buru0-meburu. Ibu saya membiarkan itu petanda baik.
BARABAH : Baik?
ZAITUN : Ya, baik! Itu petanda jodoh.
BARABAH : Jodoh???
ZAITUN : Ya. Jodoh. Ibu saya ahli bertenung kartu.
BARABAH : Silakan duduk.
ZAITU : (setelah duduk) Cecak-cecak itu firasat yang baik. Saya tadi, begitu masuk rumah ini, begitu melihat tanda-tanda.
BARABAH : Saya belum pernah mendengar tahayul-tahayul seperti itu.
ZAITU : O, ibu saya sangat ahli dalam ilmu tahayul. Cecak-cecak itu pertanda baik dalam ilmu tahayul, kecuali kucing berkelahi.
BARABAH : Kucing berkelahi?
ZAITUN : Kucing berkelahi itu pertanda firasat buruk.
BARABAH : Tadi pagi saya mendengar kucing berkelahi di loteng rumah
ZAITUN : O, itu pertanda buruk.
BARABAH : Danfirasat cecak itu, apakah membaikkan buat saya atau (menunjuk tamunya) …..situ? (ZaitunCuma tersenyum) Baik untuk siapa?
ZAITUN : Buat saya.
BARABAH : Buat situ?
ZAITUN : Ya, buat saya
BARABAH : Jadi ….jadi, itu berarti akan terjadi pertemuan jodoh?
ZAITU : Ya, akan terjadi perkawinan yang bahagia.
BARABAH : Kalau menurut tahayul, yang melihatlan yang akan kawin. Siapa?
ZAITUN : Tentulah …… tentulah Saya(Barabah galisah) Maaf, saya ingin bertanya dulu, maaf yang seharusnya mula-mula tadi datang menanyakan dulu. Orang-orang di warung sana dan di kantor polisi mengatakn inilah rumah PakBanio.
BARABAH : Ya.
ZAIUTU : Ini rumah PakBanio?
BARABAH : Ya.
ZAITUN : Bolehkah saya bertemu dengan PakBanio? SayaZaitun (Barabah tambah gelisah) boleh? Bilanglah ada tamu jauh. BilanglahZaitun datang. Tentulah beliau nanti akan tahu, pasti beliau senang.
BARABAH : Beliau sekarang sedang di ladang.
ZAITUN : Mengapa beliau di ladang kira-kira?
BARABAH : Beliau di ladang sekarang sedang mencabut pohon-pohon lalang.
ZAITUN : O, rajinnya, biarpun sudah tua, beliau masih kuat.
BARABAH : Kuat?
ZAITUN : Ya, kuat. Kuat mencabut lalang. Sebenarnya pohon-pohon lalang itu sukar dicabut. Mestinya dengan traktor baru terbongkar akarnya (menoleh di kiri kana) Mana beliau, ya? Saya rindu jumpa beliau.
BARABAH : Saumi saya memang kuat. Belay tidak memerluakan traaktor untuk mencabut lalang yang bayak itu. beliau memang punya banyak piaraan lalang dan rupa-rupannya daun-daun lalang itu tajam-tajam, bukan? (menyindir)
ZAITUN : Oh, tentu saja tajam. Waktu kecil saya menangis sebab dilukai daun lalang, lalu saya mengadu kepada bapak saya. Tapi bapak saya marah-marah …. (ketawa kecil) ….piaraan?? apa lalang itu sengaja ditaman dan dipiara di ladang.
BARABAH : Sengaja.
ZAITUN : Masaalah….
BARABAH : Jangan disitu kaget. Suami saya mempunyai dua belas lalang yang pernah dipiaranya baik-baik seperti oramng-orang memelihara isterinya. Tampak-tampaknya beliau akan mencabut lalang-lalang yang kedua belas.
ZAITUN : Oh, syukurlah. Syukurlah …..
BARABAH : Syukur???
ZAITUN : Ya, syukur (ketawa). Tapi anehnya, tentu nanti beliau akan menanam lalang-lalang yang ketiga belas, bukan? Beliau lucu juaga! Oh, tadi saya lupa bertanya apa beliau sehat-sehat saja.
BARABAh : Kalau beliau tidak sehat walafiat, masak beliau sanggup memelihara lalang sampai dua belas kali. Dan sekarang, gilanya, setelah ditanam yang keduabelas itu pun akan dcabut pula. Sekarang akan mencari bibit lalang yang ketigabelas (melihat Zaitu) … lalang itu pun montok pula!
ZAITUN : Lucu juga beliau itu.
BARABAH : Memang lucu beliau. Sehingga semua kejadian-kejadian yang dibikin beliau seakan leluconnya. Kadang-kadang itu menyakitkan hati pula.
ZAITUN : Ya memang. Tapi tadi di atas kereta api waktu saya mau kesini, ada sebuah lelucon. Ada dua orang pelajar yang masih bujangan mentah. Rupanya mereka tidak membeli karcis, ketika ditanya karcisnya keduanya pura-pura tidur ngorok.
BARABAH : Heem, saya juga pernah melihat penipuan begitu. Tapi bukan bujangan mentah, yang menipu itu adalah gadis. Gadis yang montok (memandang tamunya)
ZAITU : Hah, lucu juga.
BARABAH : Buat saya sediri tidak lucu. Mereka setidak-tidaknya pernah sekolah, mereka diajari gurunya, kalau naik kereta api harus membeli karcis. Tidak hanya menyerobot macam garong. Mereka seharusnya ditangkap tidak peduli mereka gadis pun. Zaman sekarang rupanya banyak tukang serobot.
ZAITUN : Benar juga (tertawa)
BARABAH : Memang benar, jaman sekarang banyak tukang serobot, kecuali …..kecuali kalau kapala setasiuan memberi karcis sprei. Tapi mestinya di jaman merdeka ini tak boleh lagi ada karcis sprei. Itu korupsii halus. Itu tidak demokratis.
ZAITUN : Betul, betul. Itu korupsi halus. Itu tidak demokratis.
BARABAH : Lebih jelek lagi, itumacam garong di tengah hari.
ZAITUN : Memang itu semacam garong di siang hari. O, ya, pak Banio mana ya… apa beliau tidak bisa dipanggil barang sebentar? Saya ada perlu sekali.
BARABAH : Perlu sekali? Soal apa? (Zaitun tersenyum malu-malu) Soal apa yang kira-kira akan disamapaikan pada PakBanio itu?
ZAITUN : Sebenarnya ini perlu ketemu muka.
BARABAH : Katakanlah.
ZAITUN : Sebenarnya saya malu mengatakannya ….be!
BARABAH : Ah, jangan malu-malu kucing, ah. Nanti saya sampaikan.
ZAITUN : Soal perkawinan.
BARABAH : Perkawinan siapa?
ZAITUN : Ya, perkawinan.
BARABAH : Apa sudah gawat betul?
ZAITUN ; Boleh dibilang gawat. Tapi ini soal penting.
BARABAH : Soal perkawinan memang soal penting. Buatku lebih penting. Ini harus dipikirkan sampai matang-matangnya. Sama saja seperti kita perempuan-perempuan, bernanak nasi, kalau kurang matang terasa besarnya meletus. Kalau terlalu matang bisa mutung. Laki-laki akan mencela kita. Kata mereka kita sembrono. Laki-laki memang Cuma tau makan, mencela dan mengoceh saja kepada kaum perempuan, biarpun kita bersusah payah menanak nasi dan membikin sambal pete, kesukaannya memanggang ikan asin kedoyanannya (menangis tersedu) (Zaitun melompat membujuk tapi Barabah menolak dengan tangannya) aku tidak mau dipegang oleh siapaun juga!
ZAITUN : (membelai rambut Barabah) Maaf kalau ada perkataan yang mungkin menyinggung ibu.
BARABAH : Perempuan tidak salah, laki-lakilah yang salah.
ZAITUN : Memang laki-laki yang salah, kita benar. Maaf.
BARABAH : Jangan pidato panjang lagi di rumah saya, kau tukang serobot.
ZAITUN : Ada apa ini? Kenapa saya dituduh tukang serobot, saya masih punya uang dan saya masih ….
BARABAH : Jangan pidato-pidato lagi. Kau telah membawa cecak-cecak ke rumah saya ini, rumah ini bukan rumah tahayul atau kantor nikah, rumah ini rumah saya dan suami saya.
ZAITUN : Saya tahu, saya tahu.
BARABAH : Kau tidak tahu apa-apa, dari mula engkau datang tadi saya sudah sabar-sabarkan hati saya, saya sudah payah menyindir-nyindir angkau, tapi rupanya saya kau biarkan panas dan mutung (menangis) Saya tidak mau melepas Banio, seperti kesebelas isterinya yang rela melepas dia (Zaitun mundur hingga di ambang pintu) jangan lama-lama berdiri di situ? Saya sudah cukup sabar dari tadi. Nanti engkau akan pidato lagi tentang perkawinan!
ZAITUN : Itu adalah tentang perkawinan saya, bukan perkawinan ibu (terus keluar)
BARABAH : (Memburu sampai di ambang pintu) Jangan panggil ibu padaku. Aku masih muda. Aku bukan nenek-nenek. Aku belum peot. Nanti saya cakar mukamu itu dan kubakar. Kubakar rambutmu yang bagus itu. saya tidak seperti perempuan bodoh yang memberikan suaminya dirampas perempuan lain! (kemudian duduk bersungut-sungut pergi ke tepi) Dikiranya aku masih bayi atau seprti nenek-nenek pikun. (menuju pintu , balik lagi duduk di kursi tua menjamah gelas kopi hendak minum, tidak jadi) Bahkan kopinya pun tak mau ku minum lagi! Bukan laki-laki saja yang mata keranjang. Untuk dia tak lama di sini dan untung tanganku tak memegang pisau, kalau ada, sudah kupotong –potong dagingnya yang montok itu dan kubumbui dengan merica!
Ya, ya, ya… dia tahu sedikit bahwa aku ini bukan perempuan yang hanya bisa mengiris bawang, tapi juga …tapi aku juga perempuan yang bisa mengiris perempuan, biar, biar, biar tahu sedikit. Biar tak peduli dia mengadu pada polisi, aku tak peduli(terus bersungut-sungut)
BANIO : Ada apa ini smua? (Barabah diam memandang keluar jendela) ada apa?
BARABAH : Aku tidak peduli Bapak akan memarahi saya, tapi dia telah saya usir!
BANIO : Siapa? Siapa yang kau usir? Laki-laki?
BARABAH : Perempuan!
BANIO : Kukira laki-laki (duduk lalu minum kopi)
BARABAH : Siapa perempaun? (terus berputar keliling ruangan) Katakan saja bahwa bapak akan kawin lagi.
BANIO : Siapa? Aku?
BARABAH : Ya, siapa lagi. Merebut rekor dan piala.
BANIO : (berdiri, Barabah menjauh) Barabah, jangan sindir aku. Aku sudah tua.
BARABAH : (lalu duduk di tepi) Tapi tadi telah datang seorang perempuan menanyakan Bapak. Dia memaksa untuk memanggil ke ladang. Katanya dia rindu. Katanya tidaj ada pesan yang hraus disampaikan tapi harus bertemu muka. Saya tidak mau suami saya diambil enak-enak begitu saja oleh perempuan lain.
BANIO : Siapa perempuan itu, Barabah?
BARABAH : Aku hampir mengirisnya dengan pisau garpu yang bapak belikan tempo dulu.
BANIO : Ooooo… tidak apa. Asal jangan aku saja yang kau iris.
BARABAH : Aku tidak mau bapak direbut dari tanganku. Dia sudah kuusir dan tidak kuperbolehkan lagi meninjak rumah ini lagi. Aku berjani akan mencakar mukanya dan rambutnya. Aku akan menangis sekarang.
BANIO : Sebab apa?
BARABAH : Karena aku tidak mau jadi janda yang dicerai. Karena aku tidak mau kehilangan suami.
BANIO : Kau belum pernah marah sehebat ini, barabah. Seperti orang sedang ngidam saja. Karena apalagi kau mengusirnya?
BARABAH : Karena aku marah, benci, dan cemburu melihatnya.
BANIO : Ini betul-betul bini namanya. Semua biniku selama ini tidak ada yang berterus terang kepadaku, kecuali kau, Barabah(mengelus rambut Barabah yang sedang menangis) Barabah aku akan menghabisi kemarahanmu, kebencianmu, kecemburuanmu, dan prasangkamu terhadapku. Aku sudah tua, Barabah. Yang kau lihat sekarang ini, lihat, ini adalah lelaki bongkok. Yang kelihatan sekarang ini bukanlah orang lagi, melainkan kerangka yang hidup yang masih ingi melihat dunia. Ini yang kau lihat ini adalah sisa-sisanya. Aku tidak mau sisa-sisa hidupku yang dulu sudah cukup menjijikan buatku sendiri. Kau dengar itu semua, Barabah. Nah …..sekarang aku mau bertanya pelan-pelan kepadamu. Siapa perempuan yang datang tadi? Cobalah tenang sedikit. He ….dekat hidungmu ada tahi matanya. Hapuslah tak enak melihat perempuan manis ada tahi matanya (Barabah menghapus tahi matanya) Sekarang sebutkan siapa perempuan itu?
BARABAH : DiaCuma seorang perempuan.
BANIO : Siapa namanya?
BARABAH : Tidak ingat lagi. Ibah pening sekarang (mau bangkit tapi di tahan)
BANIO : Mari kupijit-pijit kepalamu supaya hilang peningnya.
BARABAH : Aku tidak pening lagi. Nama perempuan itu Zaitun.
BANIO : Sebesar apa dia? Dari mana dia datang?
BARABAH : Sebesar aku, Cuma dia lebih montok.
BANIO : Montok? Kalau laki-laki melihat perempuan montok, terbakar hatinya sebab gairah, tapi kalau perempuan melihat perempuan montok, terbakar hatinya sebab iri hati. Kau iri hati, Barabah?
BARABAH : Ya
BANIO : Kau betul-betul iri hati?
BARABAH : Ya, aku memang buruk, mau apa?
BANIO : Kau jujur. Aku senang manusia yang jujur bodoh. Begitu kata kakekku. Sekarang atakan apa maksud dia datang kemari.
BARABAH : Katanya dia datang dengan kereta api. Mula-mula dia melihat seekor cecak di loteng rumah ini. Lalu dia mempersoalkan jodoh. Lalu cerita tentang tahayul dan kemudian cerita tentang tenung kartu.
BANIO : Perempuan judi. Jadi kalau begitu dia datang dengan kereta api. Tapi kukira aku tidak perlu ketemu dengan dia. Aku tidak perlu ketemu dengan perempuan mana pu yang suka kartu-kartu. Aku benci sama perempuan pemain kartu, biasanya mereka kan bertenung dengan kartu-kartunya yang suka dengan tahayul dan ramalan. He, ingatkah kau apa kataku dulu ketika mula-mula kawin? Barabah? Kataku kau tidak pernah memegang kartu? Dan kau jawab “tidak”. Aku senang, lantas kita senang samapi sekarang. Apa lagi?
BARABAH : Barang kali perempuan itu keturunan penjudi. Lagaknya lain.
BARABAH : Baik?
unduh dalam bentuk pdf
naskah drama BARABAH
naskah drama BARABAH 2
Penggalan pertama:
BARABAH
Karya: Motinggo Busye
RUANG TENGAH SEBUAH RUMAH DENGAN DINDINGNYA TANDUK MENJANGAN DAN TOPI TUA DARI LUAR TERDENGAR TERIAKAN MEMANGGIL-MANGGIL.
BANIO : (dari luar) Barabaaahh!! (makin dekat) Ooooiii, Barabaaah!!(muncul dari pintu, seorang tua umur 70 tahun, membawa cangkul) Barabaaahhh, oi Barabah! (lalu duduk di kursi menyeka keringat, mencium kopiahnya)
BARABAH :(dari dalam membawa gelas kaleng berisi kopi) Tangan bapak luka?
BANIO : Biar!
BARABAH : (meletakkan kopi di meja) Oh …..
BANIO : (membentak) Apa? Oh…
BARABAH : Tangan bapak luka (menjamah tangan suaminya, tapi Banio menyentak)
BANIO : (setelah minum kopi) Kopimu enak.
BARABAH : Iya
BANIO : Barabaaahhh. (memanggil dengan pelan)
BARABAH : Ya, pak (berdiri mendekati)
BANIO : Tolong pijit-pijit kepalaku.
BARABAH : Apa mau dikerok lagi?
BANIO : Malu aku.
BARABAH : Kenapa, pak?
BANIO : Punggungku sudah bongkok. Nanti engkau tahu pula pungungku bongkok.
BARABAH : Punggung bapak belum bongkok.
BANIO : Siapa bilang pungung bapak bongkok? (tegak berdiri sambil meraba pungungnya). Siapa bilang tidak? Lihatlah, lihatlah, lihat. (bergerak dari matanya melirih pada isterinya, sementara itu peluit kereta api makin kedengaran jauh. Kemudian duduk dan Barabah masih berdiri di depannya) Kenapa kau masih berdiri di situ?
BARABAH : Ibah kan mau mijit kening bapak.
BANIO : Tak usah, aku tak pening lagi. Barabaaahhh
BARABAH : Ya paaaakkkk!
BANIO : Aku sudah tua, ya.
BARABAH : Belum, pak.
BANIO : Bohong. Aku sudah tua, Barabah.
BARABAH : Belum, pak.
BANIO : (berdiri tegak menghentakkan kaki di lantai) Bohong. Coba terus terang katakana aku sudah tua. Semua bini-bini memanggil kalinya dengan sebutkan layak. Mereka itu tidak memanggil bapak atau pak kepada lakinya. Kalau ada orang datang ke rumah ini kamu memanggil apa kepadaku?
BARABAH : (sanbil tersenyum menjawab lincah) Ibah akan memanggil bapak?
BANIO : (dengan suara mendaulat) kenapa?
BARABAH : KarenaIbah tidak bisa merubahnya lagi.
BANIO : Bukan karena aku sudah tua bangka?
BARABAH : Bukan.
BANIO : Bohong. Terang-terangan saja, aku sudah tua, bongkok.
BARABAH : Ibah berani sumpah pak.
BANIO : Sumpah apa? Sumpah apa? Kau berani nanti malam datang ke kuburan tidak memakai obor? Tentu kau tidak berani. Barabah, aku sudah tua ya? Barabah, aku sudah tua ya? Barabah, aku sudah tua. Sebentar lagi aku akan mati, barangkali lima atau enam tahun lagi. Kalau aku mati apa kau akan menangis, Barabah?
BARABAH : Aku nangis dikuburan selama seminggu.
BANIO : Sesudah menangis selama seminggu dan air matamu kering kau akan nangis lagi Barabah?
BARABAH : Ibah akan nangis lagi kalau punya air mata.
BANIO : Bohong! (sambil berteriak) Sesudah matamu bengkak, karena menangis seminggu itu, seminggu kemusian matamu tidak bengkak lagi, dan hari itu ….ya, hari itu kau dilamar orang. (Barabah tertawa) Kenapa kau tertawa?
BARABAH : Lucu!
BANIO : Memang lucu. (keduanya tertawa menikmati kelucuan itu, tapi katawa Barabah saja masih membunga, sedangakan ketawa Banio sudah disihir oleh peranan luput) Barabah.
BARABAH : Ya, paakkk. Lelucon lagi?
BANIO : Bukan! Koq kita hidup ini lelucon saja isinya?
BARABAH : Apa? (sambil mendekat memegang kuduk Banio dengan mesra sekali)
BANIO : jangan pegang rambut kudukku. Geli!
PAUSE : Barabaaahhh??
BARABAH : Apa?
BANIO : Aku sudah kakek-kakek kelihatnya? Ah, jangan jawab. Tentu kau akan bilang tidak pak atau belum pak!
PAUSE : Aku tadi lewat di depan Kantor JAPENKAB, membaca Koran.
BARABAH : (memotong) JAPENKAB?
BANIO : Bodoh! JawatanPeneranganKabupaten. Orang-orang sekarang terlalu sibuk. Sebab dunia mulai kiamat, sehingga memanggil Walikota dengan sebutan walkot saja, tapi aku membaca Koran dunia akan kiamat. Aku benci sama tukang ramal itu. mereka-mereka pembohong-pembohong. Tapi aku percaya sekali waktu aku akan mati. Tapi aku belum mau mati sebelum aku mempunyai anak laki-laki. (Barabah tersenyum sambil memegang perutnya, seperti ada yang bergerak dalam perutnya). Kenapa kau tersenyum sendiri. Gila! Atau kau mau tertawakan saja, dari sebelas perempuan yang kukawini, aku tidak pernah punya anak laki-laki. Kau tahu, dulu aku ahli penabuh gendering sehingga aku pernah bermimpi punya anak laki-laki yang pintar menabuh gendering, drum-tam-tam-drum-tam-tam berjalan berkeliling kota dalam barisan dengan terompet tot-tit-tet-drum-tam-drum-tam. He, barabah masih kau simpan juga tambur itu?
BARABAH : Masih di gudang.
BANIO : Aku dulu lelaki mata keranjang. He, kenapa tertawa kau? Emang dulu aku dibenci gadis-gadis. Sebetulnya gadis itu bukan benci. Mereka sebetulnya takut tidak memilikinya. Kebodohan gadis-gadis itu sama umumnya dunia perjudian. Mereka judikan dirinya. Mereka kira dirinya kerta totalisator aepak bola. Ooooo, dulu au bukan jagoan taruhan. Aku dulu bintang lapangan, Barabah. He, kapan diumumkan hasil totalisator PSSI lawan RRC Barabah? Kalau dapat ratusan ribu lagi seperti SiMansyur, aku akan sumbangkan pada Depsos.
BARABAH : Depsos
BANIO : Bodoh kau! Departemen sosial yang mengurus kesejahteraan rakyat banyak. Aku ingat si Mansyur, Barabah. Aku tidak mau rebut-ribut dengan si Mansyur bedebah itu. memang Mansyur goblok! Sangkanya tanah itu akan dibawanya mati, sehingga mau bertengkar dengan UU Landrefrom. Betul-betul ketinggalan zaman! Dasar mansyur goblok! Dalam hidupnya dia orang yang berangan-angan akan memiliki tanah, tanah sejagad ini. Padahal kalau ia mati, orang Cuma memerlukan tanah paling banyak hanya dua meter buat kuburan. Betul juga usulmu,ketika aku berkelahi dengan polisi dulu perkara tanah itu. kau bilang, keserakahan tak selamanya membawa laba, tetapi membikin dekat dengan kehancuran. Wahai pepatah kuno kau itu masih juga bisa dipakai! Betul, tidak? He, aku tadi cerita apa?
BARABAH : Dunia kiamat dalam Koran.
BANIO : O ya, dunia dalam Koran, ya, dunia memang akan kiamat. Jadi ia tidak bisa memiliki tanah dua meter dua jengkal pun tak keburu lagi buat membikin kuburnya. (pergi ke jendela memandang keluar) lihat alangkah suburnya tanah itu, Barabah.
BARABAH : Dimana akan dibikin rumah Si Godam
BANIO : SiGodam
BARABAH : Kan dulu bapak inginkan rumah SiGodam?
BANIO : Apa aku pernah punya anak laki-laki selama ini?
BARABAH : Kan Bapak sudah bilang padaku, kalau(memegang perutnya) anakku laki-laki.
BANIO : (Ketawa) Dulu, o, iya, ya, ya, ya, ya, Si Godam yang bisa pukul tambur tram, tram ,nanti itu. he, barabah apa kau bisa menjamin bahwa ankmu itu laki-laki kelask?
BARABAH : Tiap ibu tahu siapa yang ada dalam perutnya.
BANIO : TuhanMahaTahu.
BARABAH :He, bapak dulu cerita bagaimana nanti hebatnya Si Godam yang bisa pukul gendering, tram,tram, tram dan diapit oleh bendera merah putih dan rakyatnya menonton bersorak-sorai.
BANIO : (memotong) HidupGodam, hidup Godam! Kemudian ada yang berkata “itu Godam anak Pak Banio dan si Barabah”. Kau tahu Barabah, apa artinya Godam?
BARABAH : Palu berduri tajam.
BANIO : Palu yang berduri tajam, ya, ya ….(menunjuk keluar jendela) di sana akan didirikan tempat latihan dramanya si Godam tidak boleh gagal perkawinannya seperti bapaknya. O ya …. Siapa nama biniku yang pertama, Barabah?
BARABAH : Kalau tidak salah Jamilah.
BANIO : Ya, jamilah! Penasaran aku sama Jamilah. He, siapa nama isteriku yang kedua?
BARABAH : (menjawab dengan spontan) Rabiatun!
BANIO : O ya, Rabiatun. Kau tahu apa yang ditanyakan pamannya padaku?
PAUSE : Kau pegawai negeri? Lalu kujawab dengan jujur, saya marsose, pak. Berapa gajimu sebagai marsose.
BARABAH : SemuaRabiatun, Rabiatun itu sedang pontang-panting.
BANIO : (berteriak) Betul! (ingat sesuatu) He, sudah kuceritakan kisah Rabiatun-Rabiatun itu?
BARABAH : Sudah sebelas kali.
BANIO : (sambil memeijit-mijit kepalanya) kau ingat nama isteriku yang ketiga?
BARABAH : Bapak sendiri yang bilang bahwa bapak lupa nama isterinya yang ketiga.
BANIO : Oh ya, aku lupa, yang keempat aku juga lupa. Tapi yang kelima tidak!
BARABAH : (dengan suara ditekan) yang main gila dengan laki-laki itu.
BANIO : Ya, ya, perempuan memang berbahaya, barabah. Ia berbahaya jika membutuhkan lebih dari seorang laki-laki untuk kepuasannya.
BARABAH : (berteriak)Aku tidak mau!!
BANIO : Kenapa tidak mau??
BARABAH : Ibah tidak pernah main gila!!
BANIO : Apa aku tuduh kau? He? He?
BARABAH : Tapi kata-kata itu menyindirku. (Barabah menangis, Banio mendekati)
BANIO : Bukan kau, barabah. Kau bagus. Namamu pun bagus. Burung pemakan pisang. Aku dulu suka melihat burung Barabah memakan pisang. Tapi kau burung barabah yang memberikan pisang pada perutmu. Betul tidak? (Barabah tersenyum) kenapa senyum-senyum? Aku lupa nama isteriku yang kesembilan. Kau ingat Barabah?
BARABAH : Ingat, yang kawin dengan Belanda ketika bapak ditawan.
BANIO : Dia berkhianat dua kali. Pertama, dia berkhianat pada lakinya. Kedua, pada tanah air. O, bukan, bukan, bukan dua kali. Tiga kali. Dia membawa anak perempuan yang coklat-coklat kulitnya ke negeri Belanda. Aku tidak tahu bagaimana mereka mencat muka anak perawanku menjadi putih supaya menjadi Belanda (Barabah diam saja, ketawa sedikit) ini lucu! (BARABAHBAHKAN CEMBERUT) Kenapa kau tidak tertawa?
BARABAH : Ibah cemburu!
BANIO : Cemburu? Kau juga punya rasa cemburu seperti kebanyakan perempuan?
BARABAH : Ibah cemburu, bapak akan kawin lagi. Kaum perempuan akan cemburu kalau suaminya cerita tentang perempuan lain.
BANIO : Kawin lagi? Apa aku ini kau kira akan merebut rekor perkawinan seperti orang-orang merebut gelar pemain bola yang paling banyak mencetak goal?
BARABAH : bapak dulu pernah bilang bapak akan kawin lagi.
BANIO : Kapan, coba kapan? Aku bisa marah nih, aku bisa marah nih.
BARABAH : Dua bulan yang lalu.
BANIO : O, oooo itu Cuma main-main. Itu Cuma gertak sambal. Suami-suami perlu sesekali menguji isteri. (menghirup kopi) Aku sudah tua. Barabah. Dan ini adalah perkawinanku yang keduabelas dan terakhir. Aku piker itu sudah rekor. Aku piker aku sudah pantas dapat piala (Barabah diam saja) kenapa kau terdiam? Kau tentunya pro pada bekas-bekas isteriku itu. baik, baik, baiklah, Barabah! Sebab kau perempuan. Tapi jangn minta aku nagis-nagis di depan perempuan, tersedu-sedu sebab keggalanku selama ini. Aku ini orang yang gagal, Barabah. Aku bukan laki-laki cengeng. Aku tak bisa menangis lagi. Aku tak mau menangis, kau dengar?
BARABAH : Aku dengar (Banio menuju ke jendela)
BANIO : Baru sekarang aku tahu tanah-tanah itu subur. Ketika aku sudah tua, bongkok dan ubanan dan sebenarnya tidak laku lagi. He, Barabah, jangan kau menaruh cemburu kepada aku. Ini sudah tidak laku lagi meskipun ditawarkan di pasar rombengan atau pajak gadai. Yang penting Barabah, bairpun barang-barang loakan, situs ini, tapi masih punya semangat semacam tram, tram, tram …. He, barabah, bagaimana dengan sambal pete? Aku mau bongkar rumput lalang itu sebentar lagi (minum kopi). Lalang itu berbahaya untuk ladang, akarnya harus dicabut, Barabah! (Banio terus makan) Terlalu asin ikan ini. (kemudian berdiri, Banio melemparkan selempahnya kepada Barabah yang lalu menggulung rokok ripah di jendela) Aku kepingin naik kapal terbang satu kali.
BARABAH : Naik kapal terbang.
BANIO : Ya, naik kapal terbang. Cuma itu yang belum kunaiki. Aku pernah naik mobil sepur, pernah naik kuda dan kerbau, pernah naik gunung. Semua sudah kunaiki kecuali naik kapal terbang. Aku pernah melihat foto BungKarno naik Holikopter.
BARABAH : Bapak bersihkan saja ilalang itu. nanti kapal terbang bisa mendarat di situ (sambil memberikan rokok)
BANIO : (memasukan rook ke mulut) Mana korek apinya?
BARABAH : Itu kan di atas meja.
BANIO : Oya, tapi tolong nyalakan, ah. (Barabah meletakkan korek, ditiup, dinyalakan lagi, ditiup lagi, akhirnya yang ketiga Banio tidak meniupnya. Barabah yang memejamkan matanya, kaget ketika muka terkena asap rokok. Mereka tersenyuim) dari sebanyak biniku, Cuma kaulah, hemm, malu aku menyebutnya yang satu ini, hemm, Cuma kaulah Barabah, yang bisa menghidupkan korek api. Aku takkan kawin lagi (menepuk bahu isterinya lalu menghilang)
Penggalan Kedua:
BARABAH MELIHAT ADA ORANG YANG DATANG, CEPAT MASUK KAMAR UNTUK MEMBETULKAN RAMBUTNYA KETIKA MUNCUL LAGI, ORANG ITU, WANITA MUDA TELAH BERDIRI DI PINTU.
BARABAH : Ada apa?
ZAITUN : Mereka berkejar-kejaran
BARABAH : Apa?
ZAITUN : Cecak
BARABAH : Cecak atau tikus??
ZAITUN : Cecak. Sepasang cecak yang segang buru0-meburu. Ibu saya membiarkan itu petanda baik.
BARABAH : Baik?
ZAITUN : Ya, baik! Itu petanda jodoh.
BARABAH : Jodoh???
ZAITUN : Ya. Jodoh. Ibu saya ahli bertenung kartu.
BARABAH : Silakan duduk.
ZAITU : (setelah duduk) Cecak-cecak itu firasat yang baik. Saya tadi, begitu masuk rumah ini, begitu melihat tanda-tanda.
BARABAH : Saya belum pernah mendengar tahayul-tahayul seperti itu.
ZAITU : O, ibu saya sangat ahli dalam ilmu tahayul. Cecak-cecak itu pertanda baik dalam ilmu tahayul, kecuali kucing berkelahi.
BARABAH : Kucing berkelahi?
ZAITUN : Kucing berkelahi itu pertanda firasat buruk.
BARABAH : Tadi pagi saya mendengar kucing berkelahi di loteng rumah
ZAITUN : O, itu pertanda buruk.
BARABAH : Danfirasat cecak itu, apakah membaikkan buat saya atau (menunjuk tamunya) …..situ? (ZaitunCuma tersenyum) Baik untuk siapa?
ZAITUN : Buat saya.
BARABAH : Buat situ?
ZAITUN : Ya, buat saya
BARABAH : Jadi ….jadi, itu berarti akan terjadi pertemuan jodoh?
ZAITU : Ya, akan terjadi perkawinan yang bahagia.
BARABAH : Kalau menurut tahayul, yang melihatlan yang akan kawin. Siapa?
ZAITUN : Tentulah …… tentulah Saya(Barabah galisah) Maaf, saya ingin bertanya dulu, maaf yang seharusnya mula-mula tadi datang menanyakan dulu. Orang-orang di warung sana dan di kantor polisi mengatakn inilah rumah PakBanio.
BARABAH : Ya.
ZAIUTU : Ini rumah PakBanio?
BARABAH : Ya.
ZAITUN : Bolehkah saya bertemu dengan PakBanio? SayaZaitun (Barabah tambah gelisah) boleh? Bilanglah ada tamu jauh. BilanglahZaitun datang. Tentulah beliau nanti akan tahu, pasti beliau senang.
BARABAH : Beliau sekarang sedang di ladang.
ZAITUN : Mengapa beliau di ladang kira-kira?
BARABAH : Beliau di ladang sekarang sedang mencabut pohon-pohon lalang.
ZAITUN : O, rajinnya, biarpun sudah tua, beliau masih kuat.
BARABAH : Kuat?
ZAITUN : Ya, kuat. Kuat mencabut lalang. Sebenarnya pohon-pohon lalang itu sukar dicabut. Mestinya dengan traktor baru terbongkar akarnya (menoleh di kiri kana) Mana beliau, ya? Saya rindu jumpa beliau.
BARABAH : Saumi saya memang kuat. Belay tidak memerluakan traaktor untuk mencabut lalang yang bayak itu. beliau memang punya banyak piaraan lalang dan rupa-rupannya daun-daun lalang itu tajam-tajam, bukan? (menyindir)
ZAITUN : Oh, tentu saja tajam. Waktu kecil saya menangis sebab dilukai daun lalang, lalu saya mengadu kepada bapak saya. Tapi bapak saya marah-marah …. (ketawa kecil) ….piaraan?? apa lalang itu sengaja ditaman dan dipiara di ladang.
BARABAH : Sengaja.
ZAITUN : Masaalah….
BARABAH : Jangan disitu kaget. Suami saya mempunyai dua belas lalang yang pernah dipiaranya baik-baik seperti oramng-orang memelihara isterinya. Tampak-tampaknya beliau akan mencabut lalang-lalang yang kedua belas.
ZAITUN : Oh, syukurlah. Syukurlah …..
BARABAH : Syukur???
ZAITUN : Ya, syukur (ketawa). Tapi anehnya, tentu nanti beliau akan menanam lalang-lalang yang ketiga belas, bukan? Beliau lucu juaga! Oh, tadi saya lupa bertanya apa beliau sehat-sehat saja.
BARABAh : Kalau beliau tidak sehat walafiat, masak beliau sanggup memelihara lalang sampai dua belas kali. Dan sekarang, gilanya, setelah ditanam yang keduabelas itu pun akan dcabut pula. Sekarang akan mencari bibit lalang yang ketigabelas (melihat Zaitu) … lalang itu pun montok pula!
ZAITUN : Lucu juga beliau itu.
BARABAH : Memang lucu beliau. Sehingga semua kejadian-kejadian yang dibikin beliau seakan leluconnya. Kadang-kadang itu menyakitkan hati pula.
ZAITUN : Ya memang. Tapi tadi di atas kereta api waktu saya mau kesini, ada sebuah lelucon. Ada dua orang pelajar yang masih bujangan mentah. Rupanya mereka tidak membeli karcis, ketika ditanya karcisnya keduanya pura-pura tidur ngorok.
BARABAH : Heem, saya juga pernah melihat penipuan begitu. Tapi bukan bujangan mentah, yang menipu itu adalah gadis. Gadis yang montok (memandang tamunya)
ZAITU : Hah, lucu juga.
BARABAH : Buat saya sediri tidak lucu. Mereka setidak-tidaknya pernah sekolah, mereka diajari gurunya, kalau naik kereta api harus membeli karcis. Tidak hanya menyerobot macam garong. Mereka seharusnya ditangkap tidak peduli mereka gadis pun. Zaman sekarang rupanya banyak tukang serobot.
ZAITUN : Benar juga (tertawa)
BARABAH : Memang benar, jaman sekarang banyak tukang serobot, kecuali …..kecuali kalau kapala setasiuan memberi karcis sprei. Tapi mestinya di jaman merdeka ini tak boleh lagi ada karcis sprei. Itu korupsii halus. Itu tidak demokratis.
ZAITUN : Betul, betul. Itu korupsi halus. Itu tidak demokratis.
BARABAH : Lebih jelek lagi, itumacam garong di tengah hari.
ZAITUN : Memang itu semacam garong di siang hari. O, ya, pak Banio mana ya… apa beliau tidak bisa dipanggil barang sebentar? Saya ada perlu sekali.
BARABAH : Perlu sekali? Soal apa? (Zaitun tersenyum malu-malu) Soal apa yang kira-kira akan disamapaikan pada PakBanio itu?
ZAITUN : Sebenarnya ini perlu ketemu muka.
BARABAH : Katakanlah.
ZAITUN : Sebenarnya saya malu mengatakannya ….be!
BARABAH : Ah, jangan malu-malu kucing, ah. Nanti saya sampaikan.
ZAITUN : Soal perkawinan.
BARABAH : Perkawinan siapa?
ZAITUN : Ya, perkawinan.
BARABAH : Apa sudah gawat betul?
ZAITUN ; Boleh dibilang gawat. Tapi ini soal penting.
BARABAH : Soal perkawinan memang soal penting. Buatku lebih penting. Ini harus dipikirkan sampai matang-matangnya. Sama saja seperti kita perempuan-perempuan, bernanak nasi, kalau kurang matang terasa besarnya meletus. Kalau terlalu matang bisa mutung. Laki-laki akan mencela kita. Kata mereka kita sembrono. Laki-laki memang Cuma tau makan, mencela dan mengoceh saja kepada kaum perempuan, biarpun kita bersusah payah menanak nasi dan membikin sambal pete, kesukaannya memanggang ikan asin kedoyanannya (menangis tersedu) (Zaitun melompat membujuk tapi Barabah menolak dengan tangannya) aku tidak mau dipegang oleh siapaun juga!
ZAITUN : (membelai rambut Barabah) Maaf kalau ada perkataan yang mungkin menyinggung ibu.
BARABAH : Perempuan tidak salah, laki-lakilah yang salah.
ZAITUN : Memang laki-laki yang salah, kita benar. Maaf.
BARABAH : Jangan pidato panjang lagi di rumah saya, kau tukang serobot.
ZAITUN : Ada apa ini? Kenapa saya dituduh tukang serobot, saya masih punya uang dan saya masih ….
BARABAH : Jangan pidato-pidato lagi. Kau telah membawa cecak-cecak ke rumah saya ini, rumah ini bukan rumah tahayul atau kantor nikah, rumah ini rumah saya dan suami saya.
ZAITUN : Saya tahu, saya tahu.
BARABAH : Kau tidak tahu apa-apa, dari mula engkau datang tadi saya sudah sabar-sabarkan hati saya, saya sudah payah menyindir-nyindir angkau, tapi rupanya saya kau biarkan panas dan mutung (menangis) Saya tidak mau melepas Banio, seperti kesebelas isterinya yang rela melepas dia (Zaitun mundur hingga di ambang pintu) jangan lama-lama berdiri di situ? Saya sudah cukup sabar dari tadi. Nanti engkau akan pidato lagi tentang perkawinan!
ZAITUN : Itu adalah tentang perkawinan saya, bukan perkawinan ibu (terus keluar)
BARABAH : (Memburu sampai di ambang pintu) Jangan panggil ibu padaku. Aku masih muda. Aku bukan nenek-nenek. Aku belum peot. Nanti saya cakar mukamu itu dan kubakar. Kubakar rambutmu yang bagus itu. saya tidak seperti perempuan bodoh yang memberikan suaminya dirampas perempuan lain! (kemudian duduk bersungut-sungut pergi ke tepi) Dikiranya aku masih bayi atau seprti nenek-nenek pikun. (menuju pintu , balik lagi duduk di kursi tua menjamah gelas kopi hendak minum, tidak jadi) Bahkan kopinya pun tak mau ku minum lagi! Bukan laki-laki saja yang mata keranjang. Untuk dia tak lama di sini dan untung tanganku tak memegang pisau, kalau ada, sudah kupotong –potong dagingnya yang montok itu dan kubumbui dengan merica!
Ya, ya, ya… dia tahu sedikit bahwa aku ini bukan perempuan yang hanya bisa mengiris bawang, tapi juga …tapi aku juga perempuan yang bisa mengiris perempuan, biar, biar, biar tahu sedikit. Biar tak peduli dia mengadu pada polisi, aku tak peduli(terus bersungut-sungut)
BANIO : Ada apa ini smua? (Barabah diam memandang keluar jendela) ada apa?
BARABAH : Aku tidak peduli Bapak akan memarahi saya, tapi dia telah saya usir!
BANIO : Siapa? Siapa yang kau usir? Laki-laki?
BARABAH : Perempuan!
BANIO : Kukira laki-laki (duduk lalu minum kopi)
BARABAH : Siapa perempaun? (terus berputar keliling ruangan) Katakan saja bahwa bapak akan kawin lagi.
BANIO : Siapa? Aku?
BARABAH : Ya, siapa lagi. Merebut rekor dan piala.
BANIO : (berdiri, Barabah menjauh) Barabah, jangan sindir aku. Aku sudah tua.
BARABAH : (lalu duduk di tepi) Tapi tadi telah datang seorang perempuan menanyakan Bapak. Dia memaksa untuk memanggil ke ladang. Katanya dia rindu. Katanya tidaj ada pesan yang hraus disampaikan tapi harus bertemu muka. Saya tidak mau suami saya diambil enak-enak begitu saja oleh perempuan lain.
BANIO : Siapa perempuan itu, Barabah?
BARABAH : Aku hampir mengirisnya dengan pisau garpu yang bapak belikan tempo dulu.
BANIO : Ooooo… tidak apa. Asal jangan aku saja yang kau iris.
BARABAH : Aku tidak mau bapak direbut dari tanganku. Dia sudah kuusir dan tidak kuperbolehkan lagi meninjak rumah ini lagi. Aku berjani akan mencakar mukanya dan rambutnya. Aku akan menangis sekarang.
BANIO : Sebab apa?
BARABAH : Karena aku tidak mau jadi janda yang dicerai. Karena aku tidak mau kehilangan suami.
BANIO : Kau belum pernah marah sehebat ini, barabah. Seperti orang sedang ngidam saja. Karena apalagi kau mengusirnya?
BARABAH : Karena aku marah, benci, dan cemburu melihatnya.
BANIO : Ini betul-betul bini namanya. Semua biniku selama ini tidak ada yang berterus terang kepadaku, kecuali kau, Barabah(mengelus rambut Barabah yang sedang menangis) Barabah aku akan menghabisi kemarahanmu, kebencianmu, kecemburuanmu, dan prasangkamu terhadapku. Aku sudah tua, Barabah. Yang kau lihat sekarang ini, lihat, ini adalah lelaki bongkok. Yang kelihatan sekarang ini bukanlah orang lagi, melainkan kerangka yang hidup yang masih ingi melihat dunia. Ini yang kau lihat ini adalah sisa-sisanya. Aku tidak mau sisa-sisa hidupku yang dulu sudah cukup menjijikan buatku sendiri. Kau dengar itu semua, Barabah. Nah …..sekarang aku mau bertanya pelan-pelan kepadamu. Siapa perempuan yang datang tadi? Cobalah tenang sedikit. He ….dekat hidungmu ada tahi matanya. Hapuslah tak enak melihat perempuan manis ada tahi matanya (Barabah menghapus tahi matanya) Sekarang sebutkan siapa perempuan itu?
BARABAH : DiaCuma seorang perempuan.
BANIO : Siapa namanya?
BARABAH : Tidak ingat lagi. Ibah pening sekarang (mau bangkit tapi di tahan)
BANIO : Mari kupijit-pijit kepalamu supaya hilang peningnya.
BARABAH : Aku tidak pening lagi. Nama perempuan itu Zaitun.
BANIO : Sebesar apa dia? Dari mana dia datang?
BARABAH : Sebesar aku, Cuma dia lebih montok.
BANIO : Montok? Kalau laki-laki melihat perempuan montok, terbakar hatinya sebab gairah, tapi kalau perempuan melihat perempuan montok, terbakar hatinya sebab iri hati. Kau iri hati, Barabah?
BARABAH : Ya
BANIO : Kau betul-betul iri hati?
BARABAH : Ya, aku memang buruk, mau apa?
BANIO : Kau jujur. Aku senang manusia yang jujur bodoh. Begitu kata kakekku. Sekarang atakan apa maksud dia datang kemari.
BARABAH : Katanya dia datang dengan kereta api. Mula-mula dia melihat seekor cecak di loteng rumah ini. Lalu dia mempersoalkan jodoh. Lalu cerita tentang tahayul dan kemudian cerita tentang tenung kartu.
BANIO : Perempuan judi. Jadi kalau begitu dia datang dengan kereta api. Tapi kukira aku tidak perlu ketemu dengan dia. Aku tidak perlu ketemu dengan perempuan mana pu yang suka kartu-kartu. Aku benci sama perempuan pemain kartu, biasanya mereka kan bertenung dengan kartu-kartunya yang suka dengan tahayul dan ramalan. He, ingatkah kau apa kataku dulu ketika mula-mula kawin? Barabah? Kataku kau tidak pernah memegang kartu? Dan kau jawab “tidak”. Aku senang, lantas kita senang samapi sekarang. Apa lagi?
BARABAH : Barang kali perempuan itu keturunan penjudi. Lagaknya lain.
BARABAH : Baik?
unduh dalam bentuk pdf
naskah drama BARABAH
naskah drama BARABAH 2
3 komentar
Maaf, mas. Boleh saya minta naskah lengkapnya? Saya tertarik dengan naskah drama barabah karya montinggo busye ini.
REPLYsaya ibu guru :-), tapi maaf yang saya punya hanya potongan naskah saja...
REPLYsebagai sebuah karya teater isinya sangat menarik tapi saya saya lebih dapat ke seninya ketimbang pesab moralnya
REPLY