01/03/2015

Dibandingkan dengan puisi-puisi Periode ’66 dan sebelumnya, puisi-puisi Indonesia dekade 70 hingga 80-an ini memiliki struktur lahir yang sangat beraneka ragam. Di samping bentuk-bentuk yang masih punya keterikatan kuat dengan konvensi penulisan puisi yang telah ada, di sini kita jumpai juga bentuk-bentuk yang lain, yang setengah konvensional dan inkonvensional. Segala bentuk tipografis dan pencapaian wawasan estetik baru dicobaterapkan di sini. Pada periode ini, unsur-unsur seni rupa ikut mewarnai bentuk-bentuk sanjak yang ada yang sebetulnya telah dirintis oleh para penyair dekade 70-an, mengisyaratkan kepada kita bahwa kekuatan struktur puisi mutakhir tidak semata-mata pada kata.


Perbandingan antara bentuk-bentuk puisi yang konvensional dengan yang di luar konvensi boleh dikatakan imbang. Kecenderungan berbeda dengan yang konvensional memang ada. Penciptaan karya sastra bukanlah semata persoalan bentuk tata wajah. Itu tidak lagi mengacu pada konvensi penulisan yang ada, tetapi lebih merupakan perjuangan sang penyair mengedepankan nilai-nilai estetik baru. Oleh karena itu, struktur lahir yang konvensional masih tetap digunakan oleh para penyair periode ini ketika mereka berkarya.


Secara global, kita bisa membagi struktur lahir puisi Indonesia dekade 70 hingga 80-an atas tiga jenis, yakni puisi berstruktur fisik konvensional, puisi berstruktur lahir semikonvensional, puisi berstruktur lahir inkonvensional. Masing-masing bisa dirinci sebenarnya. Akan tetapi, mengingat keterbatasan segalanya, rincian itu terutama lebih difokuskan pada jenis yang ketiga.


Demikianlah, maka secara agak lengkap, struktur lahir puisi Indonesia mutakhir, bisa kita urai sebagai demikian.


Puisi Konvensional


Puisi yang menggunakan struktur lahir demikian, memiliki berpuluh baris yang dibagi dalam beberapa bait. Larik-larik dalam bait itu ditulis selalu dari tepi, terdiri atas beberapa kata yang ditata secara harmonis. Dalam pembarisan dan pembaitan itu selalu kita temukan keserasian, persamaan bunyi yang menciptakan kemerduan dan persajakan. Pendiksian yang dilakukan penyair cenderung mengacu pada makna konvensional.


Contoh puisi jenis ini bisa kita baca antara lain pada buku kumpulan puisi Tanda karya Heru Emka, Catatan Suasana oleh Slamet Sukirnanto, Bulan Tertusuk Lalang oleh D. Zawawi Imron, Para Penziarah oleh Soni Farid Maulana, serta sanjak-sanjak lepas karya Nirwan Dewanto, Dorothea Rosa Herliani, Acep Zamzam Noor, Leon Agusta (Burung, Bisikan di Pengasingan, Kita Muliakan Para Fakir, Ulang Tahun, Nyanyian Buat Salju) dan lain-lain.


Semi Konvensional


Di sini juga kita jumpai adanya judul, persanjakan, pembarisan, pembaitan. Akan tetapi, penataan baris-barisnya tidak selalu dimulai dari tepi. Baris-baris tertentu ditulis lebih ke kanan, kata-kata yang seharusnya berderet dalam satu baris dibuat beberapa baris, tetapi dengan jalan disusun vertikal ke kanan. Kadang-kadang satu baris hanya diisi dengan satu kata, yang mengingatkan kita pada 1943 karya Chairil. Terkadang ada perhentian di tengah baris, lalu kata berikutnya dimulai dengan huruf kapital, membentuk frasa dengan baris berikutnya tanpa menghabiskan baris itu, yang mengasosiasikan kita pada Senja di Pelabuhan Kecil karya Chairil.


Kadang-kadang semua kata di dalam sanjak itu ditulis dengan huruf kecil dan seluruhnya hanya dituang dalam satu bait. Pada prinsipnya, struktur sanjak jenis ini dalam banyak hal masih konvensional, tetapi dalam hal-hal tertentu sudah meninggalkan konvensi. Contohnya bisa kita baca pada Cita-cita Simbok bagi Indonesia oleh Nurdien Haka, Wajah Kita oleh Hamid Jabbar, sanjak-sanjak Abrar Yusra, H.S. Justatap, Anis Saleh Baashin, Hamdy Salad, Linus Suryadi, Emha Ainun Najib, dan lain-lain.


Puisi yang Prosais dan seperti Paragraf


Puisi jenis ini tidak dibuat atas larik-larik yang membentuk bait, tetapi atas kalimat-kalimat yang membentuk paragraf. Hanya, dibandingkan dengan kalimat-kalimat prosa, ia jauh lebih padat dan lebih puitis,  serta makna yang ditampilkan kebanyakan simbolik. Contoh konkretnya bisa kita jumpai dalam buku: Perahu Kertas karya Sapardi Joko Damono, sanjak-sanjak Afrizal Malna berjudul Asia, Dunia yang Bercintaan, Alang-alang di Pinggir Jalan, Hujan Pagi Hari, dan sebagainya.


Puisi Simetris


Pembarisan sanjak yang dimaksud tidak dimulai dari tepi yang sama, tetapi dari bagian yang berbeda pada tiap barisnya, tergantung pada panjang pendeknya baris itu. Setiap baris dibuat berada di tengah, sehingga kalau baris-baris itu kita bagi secara vertikal, akan kita temukan kenyataan bahwa bagian sebelah kiri sama dengan bagian sebelah kanan. Contoh: kumpulan puisi 99 untuk Tuhanku karya Emha Ainun Najib, karya-karya Ibrahim Sattah berjudul Jejak, Sembilu, Wa Wa, Kau, Hai Ti, Sebab, Sansauna, Kaki, Perahu, dan lain-lain.


Kata yang Membentuk Lukisan


Lukisan tertentu tersebut lukisan apa, itulah yang perlu kita tafsirkan. Dari sana, kita lalu berusaha menafsirkan maknanya. Ada yang berbentuk tanda tanya, lingkaran, piramid, pohon terang, jalan zigzag, pohon beringin, bunga, dan seterusnya. Kadang-kadang ia begitu konkret sehingga dinamakan puisi konkret. Ia pun sebenarnya tidak salah jika disebut sebagai lukisan. Contoh: Viva Pancasila oleh Jeihan Suksmantoro, Keluarga Hadiah Puisi DKJ tahun 76 – 77 oleh Ikranegara, Tragedi Winka dan Sihka,  Q oleh Sutarji C.B.


Judul Puisi Sangat Panjang


Padahal puisi yang dijudulinya termasuk pendek.  Ada kesan, ini tidak imbang, tetapi persoalannya bukanlah masalah imbang dan tidak imbang. Di sini pun sebenarnya kita bisa menemukan citraan-citraan baru. Contoh: sanjak-sanjak Adri Darmaji Woko berjudul Cerita tentang Bapak Tua yang Meninggal Dunia di Pagi Tadi Disampaikan oleh Seorang Teman yang Katanya Mau Jadi Penyair; Uah, Uah, Seekor Angsa Berenang dalam Kolam, Sunyi Telah Menaboki Batok Kepalanya, Makanya Angsa itu Perlu Mencelupkan Kepalanya ke dalam Air; Aku Mendengar Suara Sisir Dimainkan Pelan-pelan, Justru di Saat itu Aku Percaya dengan Pasti Engkau Sedang Tidur, dan lain-lain, juga karya-karya Hendrawan Nadesul Akan Jadi Bagaimana Nasib Anak-anakku Kalau Nanti Juga Hanya Ada Semangkok Bubur Jagung untuknya, seperti Pagi ini Aku Tengah Mengunyahnya” dan Seperti Kulihat Boneka Kakakku Dahulu Ketika Seseorang Ramah di Hadapanku .


Puisi dengan Bahasa Multilingual


Secara resmi, puisi-puisi disebut puisi Indonesia, namun ternyata kosakata yang digunakan terdiri atas berbagai bahasa. Contoh: karya-karya Darmanto Jatman berjudul Main Cinta Model Kwang Wung, Marto Klungsu dari Leiden, Anak, Ki Blakasuta Bla Bla.


Puisi dengan Kata Main-main


Di sini penyair menggunakan kata secara seenaknya, spontan, sehingga yang muncul adalah kata-kata yang terasa binal, kotor, lucu atau aneh. Penyair yang menulis sanjak-sanjak demikian tidak mengakui adanya moral kata. Contoh: Biarin karya Yudhistira Ardi Noegraha, Pot, Sang Hai karya Sutarji C.B., bagian tertentu dari Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi A.G., kumpulan puisi Sumpah WTS, dan Catatan Harian Sang Koruptor karya F. Rahardi.


Puisi Berbentuk Bujur Sangkar dan Segi Delapan


Beberapa sanjak karya Afrizal Malna dan Sutarji C.B. mengacu pada bentuk ini.Juga sanjak-sanjak Dasri Al Mubarri dan Ibrahim Sattah.


Puisi Pendek Seperti Haiku


Puisi yang sangat hemat dalam penggunaan kata disebut Haiku. Contohnya: Harapan dan Pertemuan karya Leon Agusta, beberapa nomor karya Yudhistira, Hendrawan Nadesul, Jawahir Muhammad. .


Puisi dengan Pemenggalan Suku Kata


Kata-kata dipenggal atau suku katanya secara sengaja, sedangkan penggalan lanjutan diletakkan pada baris berikutnya.


Puisi dengan Penyebaran Kata Secara Bebas


Kata-kata seolah ditabur secara bebas, tanpa judul, tanpa pembarisan dan pembaitan. Sutarji C.B. pernah menulis puisi yang demikian.


Puisi dengan Kata-kata Purba


Menggunakan kata-kata yang mengesankan kepurbaan dan tidak ditemukan dalam kamus bahasa Indonesia. Dalam bahasa non Indonesia pun, belum tentu ada juga. Sangat mungkin, kata atau morfem-morfem tersebut adalah ciptaan sang penyair sendiri, yang maknanya, seharusnyalah diketahui secara pasti oleh penyair bersangkutan. Contoh: puisi karya Sides Sudarto Ds. berjudul Puisi Zaman Bahari Girisa serta Amuk karya Sutarji khusus yang termuat pada hal. 68 buku O Amuk Kapak.


Puisi Berbentuk Mantra


Puisi mantra mengandung gaya dan jiwa kemantraan yang kelewat kental. Sebagian besar puisi karya Sutarji dan sebagian besar puisi karya Ibrahim Sattah bisa dimasukkan ke dalam jenis puisi ini.


Puisi dengan Simbolisme Personal


Menggunakan simbolisme yang kelewat personal artinya pilihan kata-katanya sangat dipengaruhi oleh persepsi dan imajinasi pribadi, sehingga bagi orang lain, kata-kata itu sulit ditafsirkan maknanya. Contoh: sanjak-sanjak Afrizal Malna dalam buku Abad yang Berlari, Kalung dari  Teman, puisi-puisi lepas karya D. Zawawi Imron, Leon Agusta, Kriapur,  Dorothea Rosa Herliany, Ajamuddin Tifani, Ahmad Nurullah, Mathori A. Elwa, Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana.


Puisi Berbentuk Balada


Balada atau sanjak biasa yang bergaya balada banyak ditulis karena ada cerita, penokohan, setting, dan plottingnya. Ini sekaligus membuktikan bahwa dalam sastra Indonesia, penyair balada tidaklah hanya Rendra, Mansur Samin, Ayip Rosidi. Ikranegara menulis puisi sepanjang 45 halaman berjudul Kasidah Adam Khalifah, Linus Suryadi menulis Pengakuan Pariyem lebih 200 halaman. Contoh lain: Lelaki yang Sangsai karya Syafrial Arifin, Ken Arok oleh Andrik Purwasita, Lautan Jilbab karya Emha Ainun Najib yang divisualisasikan itu (digubah menjadi karya teater).


Adanya struktur fisik yang bermacam-macam itu, pada gilirannya akan membuat pembaca tidak merasa jenuh. Kita merasa disuguhi sesuatu yang segar, menarik, kreatif. Dengan tipografi, pilihan idiom dan aspek bunyi yang kaya itu, maka suasana, makna, wawasan estetik, dan interpretasi yang diketengahkan lebih luas pula.


Struktur Batin Puisi Dekade 70 – 80-an


           Struktur batin, berbeda dengan struktur lahir, lebih menunjuk hal-hal yang bersifat kejiwaan dari sebuah puisi. Ia meliputi antara lain: tema, tenden, message, nada, perasaan, nuansa puisi, ide-imaji dan pengalaman spiritual, intelektual, kemanusiaan dan Keilahian yang dimiliki dan dituang sang penyair dalam karyanya. Menghayati struktur batin sebuah puisi, sesungguhnyalah kita berpeluang untuk bisa menimba makna, hikmah, dan manfaat dari puisi tersebut.


           Struktur batin sanjak-sanjak Indonesia dekade 70 – 80-an -- sebagaimana struktur lahirnya  --  juga beraneka. Adanya pengalaman hidup yang kaya- raya, penghayatan nilai-nilai intelektual, filosofis dan agamis yang secara intens dimiliki penyairnya memungkinkan mereka menciptakan sanjak-sanjak yang multidimensional.  Secara tematis, sanjak-sanjak periode ini tidak sepenuhnya konvensional. Mereka cukup banyak mengedepankan penjelajahan-penjelajahan baru.


           Adapun secara rinci, struktur batin yang dimaksud bisa dirumuskan sebagai demikian.


Rekaman Peristiwa


             Cukup banyak sanjak-sanjak dekade 70 – 80-an yang subjek matter-nya adalah realitas sosial. Di sini penyair memanfaatkan kejadian-kejadian keseharian sebagai ilham kreativitas karya-karyanya. Mereka menyaksikan hal-hal yang mengharukan, mengharu-biru perasaan, memprihatinkan, tragis, bisa juga lucu, menarik, menyukacitakan hati. Itu mereka rekam dalam bahasa puisi yang indah. Tentu saja semua itu dilakukan melalui interpretasi kreatif dan pengolahan yang intens. Contoh: Kereta Kelas Kambing karya Saraswati Sunindyo, Hujan Pagi Hari karya Afrizal Malna, Cita-cita Simbok karya Nurdin Haka.


Potret Alam


             Dalam periode ini pun kita masih cukup sering menjumpai sanjak-sanjak yang memotret pesona alam sebagai tanda kedekatan mereka pada lingkungan alami. Mereka tersentuh oleh panorama laut, gunung, pedesaan, pantai, lembah, dan seterusnya. Hati mereka terpaut oleh daerah-daerah tertentu di tanah air. Semua itu menghadirkan keindahan tersendiri, yang pada akhirnya memanggil-manggil imajinasi personal mereka. Penyair-penyair daerah seperti D. Zawawi Imron, Umbu Landu Paranggi, I Made Swantha, Mukti Sutarman Espe, banyak menulis lirik-lirik yang halus tentang keindahan semesta. Terkadang itu pun dihubungkan dengan rasa Ketuhanan sang penyair, seperti ketika Hamid Jabbar menulis Sejuta Panorama Suara Contoh lain sanjak lanskap: Langit di Desa dan Lanskap Pagi karya Linus Suryadi, Seekor Burung Kedasih Menunggu Sepi di Satu Senja oleh Joss Sarhadi.


Nilai Keagamaan


         Para penyair yang salih, baik dari agama Islam, Nasrani, maupun yang lain, sering mengekspresikan kedalaman religiusitas mereka dalam karya-karya indah berupa sanjak. Melalui kata-kata puitis, mereka menyusun doa, kasidah, himne, sebagai wujud kepasrahan dan kecintaan mereka terhadap Allah, Gusti kita. Mereka meletakkan nilai-nilai religi yang sakral dan sublim sebagai sentral dan mata air penulisan, mereka menjadikan kegiatan kesenian itu sebagai bagian dari ibadah mereka. Mereka mencipta dengan membawa amanat, agar para pembaca memiliki kesadaran yang lebih baik tentang sikap Ketuhanan dan akhlak terhadap sesama. Mereka membawa iman, cahaya, dan cinta kasih di dalam sanjak-sanjak mereka.


Contoh: Aku Cukup dengan Engkau Saja karya Ahmadun Y. Herfanda, Gusti, Bimbinglah Si Buta Ini karya Abdul Hadi W.M., Bagai Musa Melihat Cahaya karya Motenggo Boesye, Masmur Cinta karya John Damimukese, dan lain-lain.


Puisi Tasauf


          Berbeda dengan penghayatan nilai-nilai keagamaan, tasauf lebih suntuk mengolah hati nurani sehingga nilai-nilai Ketuhanan diterjemahkan lebih dalam daripada standar perilaku ritual dan gerak-gerik lahir. Tasauf menanamkan kesadaran jiwa akan kehadiran Allah dalam diri kita, serta peleburan diri kita ke dalam Allah. Tasauf tidak lagi mencari dan menggapai-gapai Tuhan justru karena telah merasa dipangku Tuhan, bersemayam di “Jantung-Nya”. Tasauf menafikan dunia dan segala yang fana sebagai perwujudan keyakinan akan kemutlakan-Nya.


          Sanjak-sanjak dengan renungan ketasaufan cukup mendominasi dunia kepenyairan periode 70 – 80-an ini. Nama-nama seperti Sutarji C.B., Ibrahim Sattah, Hamdi Salad, Ajamuddin Tifani, Acep Zamzam Noor, Hamid Jabbar dikenal sebagai penyair yang acap menulis sanjak-sanjak sufistik (tasaufi). Tasauf adalah religiusitas yang berikhtiar meletakkan syariat Allah sebagai ajaran cinta kasih semata, menyikapi Allah sebagai Zat Yang Mahalembut (Al Latif), suatu tingkat kemakrifatan yang tinggi.


          Contoh: 99 untuk Tuhanku karya Emha Ainun Najib, Sampai, dan Idul Fitri karya Sutarji C.B., Aku Dengar Malaikat Mengaji karya Hamdy Salad.


 


Problem Kehidupan


          Tema problem kehidupan banyak ditampilkan dengan tinjauan filsafat. Penyair memang sang perenung yang mengembara dari lembah ke lembah kehidupan, menembus ketinggian langitnya, menyelami kedalaman samudranya. Suatu perjalanan, perasaan getir, sedih, gembira, rindu, sunyi, terasing, terharu-biru, bahkan ajal, tidak disikapi secara datar, tetapi direnunghayati maknanya. Hidup dan persoalan-persoalannya bukan untuk mereka angin-lalukan. Ada saatnya kita menghayati apa yang terasa dan terjadi di dalam diri dan sekitar kita. Dari Leon Agusta, B.Y. Tand, Beni Setia, Dorothea Rosa Herliany, Acep Zamzam Noor, Nirwan Dewanto, Soni Farid Maulana, banyak kita jumpai sanjak-sanjak yang berbicara tentang ini dengan penjiwaan yang halus dan manusiawi.


Kritik terhadap Modernitas


          Penyair ternyata cukup memiliki kepekaan sosial dan komitmen terhadap nilai-nilai kebenaran, keluhuran, keselamatan umat. Mereka bukan hanya menjadi saksi zaman yang  merekam realitas secara objektif, tetapi juga cukup memiliki keberanian moral untuk menampilkan sikap tertentu yang positif bagi tegaknya nilai-nilai peradaban. Menghayati kehadiran modernitas, mereka tidak bersikap pasif atau hanyut oleh pesona-pesonanya yang penuh gebyar. Mereka bahkan mampu menangkap kenyataan-kenyataan transenden di balik kemegahan duniawi bahwa kehidupan modern yang tidak diimbangi oleh kekuatan spiritualitas agamawi, akan membawa kita ke arah kebangkrutan nilai-nilai kemanusiaan. Teknologi modern ternyata punya dampak makin jauhnya hati manusia dari Tuhan, kesucian nurani, semangat cinta kasih, dan perdamaian umat. Penyair menyadari hal-hal yang demikian, dan itulah yang mereka tuliskan. Persoalan itu secara tajam dan dalam ditulis antara lain oleh Afrizal Malna, Nirwan Dewanto, Acep Zamzam Noor, Ikranegara, Anis Saleh Baashin, Dorothea Rosa Herliany.


 


Solidaritas Sosial


         Penyair yang memiliki kehalusan rasa dan kepekaan merasakan penderitaan sesama, keprihatinan para kurban ketidakadilan, banyak menulis sanjak-sanjak dengan tema kerakyatan. Kita temukan  kehadiran kaum lemah dalam sanjak-sanjak mereka. Bukan kecengengan semata yang mereka tampilkan, tetapi lebih-lebih sikap kebersamaan, kedekatan hubungan manusiawi dan semacamnya. Contoh: Orang-orang Miskin oleh Rendra, Kita Muliakan Para Fakir oleh Leon Agusta, Sajak-sajak Kedung Ombo oleh Diah Hadaning, Sajak-sajak di Sebarang Kampung oleh Agnes Arswendo, Sekali Lagi, Ibu Kota Cuma Menawarkan Mimpi oleh Omi Intan Naomi, serta Balada Si Kecil Yatim Piatu dan Di Gubug Sunyi oleh H. Tutty Alawiyah AS.


Puisi Humor


         Puisi-puisi tertentu karya penyair-penyair kita ternyata punya aspek kelucuan yang menghibur. Tidak jarang, di balik kelucuan atau nada kocak yang mereka tampilkan itu, ada kritik-kritik halus yang berdimensi sosial politik. Puisi-puisi Darmanto Jatman, Yudhistira Ardi Noegraha, F. Rahardi, K.H. A. Mustofa Bisri banyak yang bisa dimasukkan ke sini.  Bahkan karya-karya Emha Ainun Najib pun tidak sedikit yang mengundang tawa.


Puisi dengan Warna Daerah dan Atavisme


         Ada kecenderungan pada penyair tertentu untuk menghidupkan kembali akar budaya tradisi dalam cerita rakyat, sejarah atau tarikh yang sudah mendarah daging ke dalam karya-karya mereka. Rendra menampilkan tokoh Paman Doblang, Goenawan Mohamad menulis Pariksit, Penangkapan Sukra, Sapardi menampilkan tokoh wayang dan Rasulullah.


             Di luar yang disebutkan di atas, kita masih banyak menjumpai puisi-puisi dengan segi tematis yang lain, misalnya perbaikan lingkungan, pendalaman semangat patriotisme dengan menghadirkan figur idola pahlawan kemerdekaan, kesetiaan akan cinta, simpati terhadap bangsa lain yang tertindas, dan renungan tentang nasib, hidup, dan kematian. Secara keseluruhan, struktur batin yang dominan pada puisi-puisi periode ini adalah penghayatan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih dalam, upaya lebih menghidupkan segi spiritualitas dalam bentuk penyadaran eksistensi Tuhan serta tanggapan kritis terhadap berbagai sikap dan pola hidup tertentu.


             Tema dan struktur batin puisi tersebut dikemukakan dengan struktur pengucapan yang padu, sehingga puisi-puisi dekade 70 – 80-an ini  tidak kehilangan nilai kedalaman dan keindahannya karena mementingkan struktur fisik ataupun struktur tematis secara berimbang. Masih ada tema-tema lama yang diulang-ulang kembali pada periode  ini. Tema-tema demikian mungkin merupakan tema universal yang selalu digarap oleh para penyair dari berbagai kurun waktu. Perjuangan untuk hidup, keinginan untuk merdeka, cinta kasih, tuntutan akan keadilan sosial, tuntutan akan hak asasi, dan kemanusian adalah tema universal yang selalu digarap oleh para penyair. Dalam dekade 70 hingga 80-an, tema-tema semacam itu juga masih diungkapkan.


             Kalau kita lebih saksama menilai, maka tema sufisme kiranya merupakan tema paling kuat. Hal ini mungkin sebagai imbangan terhadap industrialisasi yang berdampak mendangkalnya iman dan kepercayaan manusia modern. Namun, tren tasaufi juga dimungkinkan oleh kenyataan bahwa banyak penyair muda Islam yang mendalami sufisme dan banyak literatur tentang sufi yang beredar di toko-toko buku dan di kalangan muda remaja. Bahkan Darmanto Jatman mensinyalir bahwa banyak penyair muda gandrung kepada sufisme sampai-sampai ada seorang penyair yang menambah namanya dengan kata Tasaufy.

Sang Gerimis . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates