Ulasan Novel "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck"

Hari Jumat dan Sabtu tanggal 13-14 Februari 2015, salah satu stasiun TV swasta Indonesia menayangkan sebuah film yang mengambil cerita dari satu novel Hamka yang cukup terkenal “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Awalnya, saya tidak tertarik untuk menonton film ini sewaktu pertama kali ditayangkan di bioskop. Namun, ketika mengetahui film ini ditayangkan di TV (gratis tentunya), saya pun “terpaksa menonton meskipun tidak secara penuh.
Begitu mengikuti beberapa scene film ini, saya pun teringat dengan novelnya yang saya baca sekitar 12 tahun yang lalu semasa masih aktif kuliah. Hmmm, filmnya memang menarik, tapi rasanya lebih gereget novelnya (kalau gak percaya, sila baca saja sendiri). Ya, seperti biasanya ketika sebuah novel dibuat versi filmnya, tentu sisi entertain-komersilnya lebih dikedepankan meski tidak merusak alur tentunya). Seperti halnya film Soekarno yang (maaf) “menjijikkan” bagi saya. Bahkan, film ini pun mendapat protes keras dari salah satu putri Presiden RI pertama ini.
Kembali ke “Kapal Van Der Wijck”. Untuk yang penasaran atau ingin mengingat kembali seperti apa cerita “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, berikut ringkasan dari novel karya Hamka ini:
============
[caption id="attachment_453" align="alignleft" width="208"]

Hasrat Zainuddin untuk melihat kampung halamannya, Desa Batipuh di Minangkabau, akhirnya sampai juga setelah Mak Base (orang tua angkatnya di Mengkasar) meluluskan permintaan pemuda yatim piatu itu. Dahulu, di Desa Batipuh, dekat Padang Panjang itulah ayah Zainuddin (Pendekar Sutan) terpaksa membunuh Datuk Mantari Labih. Datuk Mantari Labih adalah mamaknya yang berusaha mengangkangi harta warisan Pendekar Sutan. Akibatnya, Pendekar Sutan dibuang dari tanah leluhurnya hingga terdampar di Mengkasar dan kawin dengan Daeng Habibah, putri seorang penyebar agama Islam keturunan Melayu. Dari perkawinan itu lahir Zainuddin. Setelah kedua orang tua Zainuddin meninggal, Mak Base lah yang kemudian mengasuh dan menjadi ibu angkatnya sampai ia besar.
Kini, Zainuddin merasakan betapa adat Minangkabau telah memvonis tidak adil terhadap dirinya. Ia dianggap sebagai orang asing karena lahir dari seorang ibu yang bukan keturunan ninik-mamaknya. Ketidakadilan itu pun makin terasa sebagai hukuman ketika hubungannya dengan Hayati harus putus, dan seperti hal yang dialami oleh ayahnya dahulu: ia diusir dari tanah leluhurnya! Pemuda itu terpaksa hijrah ke Padang Panjang. Sungguh pun demikian, hubungannya dengan Hayati masih tetap berlanjut. Surat cinta Batipuh-Padang Panjang menjadi bukti kesetiaan cinta mereka.
Suatu saat, Hayati datang ke Padang Panjang bermaksud melihat Pasar Malam di sana. Ia menginap di rumah sahabatnya, Khadijah. Zainuddin tentu saja diberi tahu perihal maksud Hayati. Satu peluang untuk melepas rasa rindu, terbayang pula di hadapan mereka. Namun, semua itu tinggal harapan. Ada pihak ketiga yang membuat cerita menjadi lain. Aziz kakak Khadijah, ternyata tertarik pada Hayati, pada kecantikan gadis Batipuh. Terjadilah persaingan antara Zainuddin dan Aziz dalam memperebutkan Hayati.
Zainuddin yang miskin, tentu saja tak dapat menyaingi Aziz yang kaya dan dianggap sebagai anak negeri. Namun, ia tak putus harapan, apalagi setelah ada kabar bahwa Mak Base meninggal dunia dengan meninggalkan harta warisan yang cukup besar untuknya. Segera pemuda yang pendiam itu, menulis surat lamaran kepada keluarga Hayati. Sayangnya, Zainuddin tak menyebutkan bahwa ia kini kaya-raya. Harta warisan yang diterimanya lebih dari cukup untuk menyelenggarakan pesta perkawinan yang mewah sekalipun.
"Tak mau juga Zainuddin menerangkan dalam surat itu bahwa dia telah kaya, telah sanggup menghadapi kehidupan dengan uang tertaruh, karena di zaman sekarang uang adalah sebagai garansi. Budi pekertinya yang tinggi tidak hendak mengusik kemuliaan Hayati yang telah begitu lama beristana dalam hati jantungnya, dengan menyebut beberapa banyak uangnya."
"Surat diterima orang Batipuh, adalah dua hari setelah utusan Aziz kembali ke Padang Panjang" (hlm. 109).
Jadi, sebelum Zainuddin, Aziz telah melamar Hayati. Maka, dua Iamaran itu menjadi bahan permusyawarahan ninik-mamak Hayati. Mengingat keadaan keluarga Aziz dan asal-usulnya jelas, diputuskan lamaran Aziz yang diterima. Dengan demikian, Iamaran Zainuddin ditolak.
Zainuddin yang menerima surat penolakannya, tak mampu berbuat apa-apa, kecuali meratapi nasibnya. Terlebih Iagi menurut Muluk, sahabatnya, lelaki yang akan mengawini Hayati tak Iebih dari scorang manusia yang bermoral bejat. Sesungguhnya, Hayati pun merasakan kegetiran yang amat dalam. Ia harus menikah dengan lelaki yang tidak dicintainya. Namun, kaputusan ninik-mamak ibarat tangan besi yang berkuasa menentukan nasibnya. Pada akhirnya, Hayati hanya pasrah menerima derita yang menimpanya.
Setelah Muluk mengabarkan perkawinan Hayati-Aziz, Zainuddin jatuh sakit. Makin lama makin parah, bahkan pemuda itu sudah tak punya semangat hidup lagi. Beruntung, ia masih mempunyai seorang sahabat sejati, Muluk, yang mau menemani Zainuddin dengan setia. Kemudian, untuk melupakan masa Ialunya yang pahit.
Zainuddin bersama Muluk pergi ke jakarta. Di kota inilah bakat menulisnya mulai tersalurkan. Lambat-laun, karyanya mulai dikenal oleh masyarakat. Dengan bekal itu, Zainuddin dengan ditemani Muluk, hijrah ke Surabaya. Di Kota Buaya itu Zainuddin dikenal sebagai pengarang terkemuka. Selain itu, ia dikenal sebagai hartawan yang dermawan.
Perjalanan waktu ternyata telah membawa suami-istri Aziz dan Hayati ke Surabaya. Suatu hal yang kebetulan karena pekerjaan Aziz pindah ke Surabaya. Namun, hubungan suami-istri itu sungguh memprihatinkan.
"Sejak beberapa lamaa, perhubungan kedua suami-istri itu, hanya perhubungan akad nikah, bukan perhubungan akad hati lagi. Hati yang perempuan terbang membumbung ke langit hijau, mencari kepuasan di dalam hayal, dan hati yang laki-laki, hinggap di wajah dan pangkuan perempuan-perempuan cantik, yang Surabaya memang pasarnya" (hlm. 173).
Akibat kebiasaan buruk yang tak bisa ditinggalkan Aziz, maka ia pun dipecat dari pekerjaannya, diburu karena utang-utangnya, dan kemudian diusir dari rumah kontrakannya. Mereka terpaksa menumpang di rumah Zainuddin yang sebelumnya pernah dikunjungi suami-istri itu. Aziz yang kini hidup sebagai pengangguran, lama-kelamaan tak kuasa menanggung malu atas segala kebaikan hati Zainuddin. Ia kemudian meninggalkan istrinya dan pergi ke Banyuwangi.
Selang beberapa hari, datang dua pucuk surat dari Aziz, yang pertama surat cerai untuk Hayati, dan surat yang kedua ditujukan untuk Zainuddin yang berisi permintaan maaf dan permintaan agar Zainuddin mau menerima Hayati kembali:
"saya kembalikan Hayati ke tangan saudara, karena memang saudaralah yang Iebih berhak atas dirinya" (hlm. 192).
Rupanya itu pesan Aziz yang terakhir, sebab kemudian Aziz memutuskan hidupnya dengan membunuh dirinya sendiri. Bagi Zainuddin, surat Aziz dan berita kematiannya ibarat membawa Hayati ke dalam genggamannya. Lebih jelas lagi dengan pernyataan Hayati sendiri yang meminta maaf dan bersedia mengabdi kepada Zainuddin. Namun, Lelaki yang sudah sekian lama menanggung rindu dan derita cinta itu, justru menyuruh pujaan hatinya kembali ke kampung halamannya. Zainuddin menolak Hayati! Suatu putusan yang lebih karena didorong oleh dendam kesumat yang sebelumnya justru tak terpikirkan olehnya.
Esoknya, Hayati berangkat dengan menumpang kapal Van der Wijck. Kesadaran Zainuddin timbul justru setelah Hayati pergi. Lelaki itu tak dapat membohongi dirinya sendiri bahwa sesungguhnya ia masih mencintai Hayati. Maka, segera ia bermaksud menyusul janda malang itu ke jakarta. Sebelum itu, Zainuddin menemukan surat Hayati yang berbunyi
"aku cinta engkau, dan kalau ku mati, adalah kematianku di dalam mengenang engkau" (hlm. 208-209).
Pada saat Zainuddin sedang mempersiapkan segala sesuatunya, sebuah berita yang amat mengejutkan tersiar dalam sebuah surat kabar yang terbit di Surabaya:
"Kapal Van der Wijck Tenggelam".
Setelah membaca lengkap beritanya, Zainuddin seketika itu pula berangkat ke Tuban bersama sahabatnya, Muluk.
Masih sempat Zainuddin bertemu dengan Hayati yang terbaring di rumah sakit Lamongan. Namun, rupanya pertemuan itulah pertemuan mereka yang terakhir, sebab setelah Hayati berpesan, perempuan malang itu mengembuskan napasnya yang terakhir. Hayati meninggal dalam dekapan Zainuddin.
Sejak itu, kesehatan Zainuddin mulai menurun. Tak berapa lama kemudian, ia menghembuskan napas terakhirnya. Muluk kemudian menguburkan Zainuddin bersebelahan dengan pusara Hayati. Sebuah akhir yang tragis.
========
Novel ini pertama kali muncul dalam majalah Pedoman Mmeyarakat (1938) sebagai cerita bersambung. Setahun kemudian, diterbitkan di Medan oleh sebuah penerbitan sebagai cétakan pertama. Tahun 1949 mengalami cetakan ulang yang kedua.
Cetakan ketiga diterbitkan di Jakarta oleh penerbit Balai Pustaka, 1951 hingga cetakan ketujuh. Cetakan kedelapan ditangani oleh penerbit Nusantara, jakarta pads tahun 1961. Sejak cetakan berikutnya (1976) sampai Cetakan kedelapan belas (1986) diterbitkan oleh penerbit Bulan Bintang. Novel ini juga diterbitkan dalam bahasa Melayu sejak 1963 di Kuala Lumpur dan hingga kini terus mengalami cetak ulang.
Sewaktu diterbitkan oleh penerbit Nusantara, novel Tenggelamnya Kapal Van dar Wijck mulai menjadi bahan polemik. Mula-mula muncul tulisan Abdullah Sp. dalam surat kabar Bintang Timur (7 dan 14 September 1962), yang menuduh Hamka telah melakukan plagiarisme karya terjemahan Al-Manfaluthi, berjudul Magdalena (Di Bawah Naungan Pohon Tillia) dari karya berbahasa Perancis berjudul Sous Les Tilleuls karangan Alphonse Karr. Serangan yang bernada menuduh demikian umumnya datang dari sastrawan Lekra/PKI yang maksud utamanya menjatuhkan keulamaan Hamka.
Hamka tidak berkomentar atas tuduhan itu. Namun, pembelaannya justru datang dari para krltikus sastra, seperti H.B. jassin, Umar junus, junus Amir Hamzah, Ali Audah, Usmar Ismail. Mengenai polemik ini lebih lengkap dapat diperiksa dalam M. Junus Amir Hamzah dan H.B. jassin (1963) dalam Antara Van der Wijck dalam Polemik (jakarta: Gunung Agung) dan dalam "Heboh Sekitar Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" dalam Antara Imajinasi dan Hukum (jakarta: Gunung Agung, 1986: 221-234) suntingan Darsjaf Rahman. Namun, jika novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dan Magdalena diperbandingkan berdasarkan kajian sastra bandingan (Compafative Literature), akan terlihat bahwa di antara persamaan yang terdapat dalam kedua novel tersebut, ada juga perbedaannya yang sangat ditentukan oleh tradisi, lokasi, dan pengaruh yang melingkari diri pengarang masing-masing.
Secara tematik, novel ini masih belum beranjak dari persoalan cinta dan perkawinan dalam hubungannya dengan adat (Minangkabau). Namun, Hamka tampaknya tidak hendak mempertentangkan secara tegas golongan tua dengan golongan muda. Ia lebih menekankan pada pribadi manusianya sendiri. Sungguhpun demikian, dalam hal penggambaran masalah adat itulah novel ini terasa menjadi problematik.
Kajian mengenai novel Hamka dalam kaitannya dengan masalah adat pernah dilakukan oleh Ramadhan Syukur dalam skripsinya yang berjudul Problema Adat Minangkabau dalam Empat Novel Hamka (FS UI, 1988). Peneliti lain yang membicarakan novel ini, antara lain adalah Mursal Esten yang berjudul Tinjauan Tema dan Amanat serta Latar Tokoh Tenggelaninya Kapal Van der Wijck dan Salah Asuhan, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1985), Sri Karlika Ning Iswari berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck dan Di Bawah Lindungan Kabah karya Hamka (FS Undip), Solelaeha bejudul Tinjauan tentang Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1961), dan Widaningsih berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1962) keduanya skripsi sarjana muda Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Studi mengenai Hamka telah dilakukan oleh Junus Amir Hamzah dalam buku berjudul Hamka sebagai Pengarang Roman (1964) dan sebuah bunga rampai yang disunting oleh Nasir Tamara berjudul Hamka di Mata Hati Umat (1983).
(Dari Berbagai Sumber)
1 komentar:
kemenarikan deskripsi dalam film ini apa.?
REPLY