"SALAH ASUHAN" Barat vs Timur Ala Abdul Muis
“SALAH ASUHAN” BARAT VS TIMUR ALA ABDUL MUIS
Sangat berbeda dengan roman-roman Azab dan Sengsara, Siti Nurbaya dan semacamnya, karya Asbdul Muis yang cemerlang ini tidak lagi mengacu ke ciri-ciri kemelayuan. Tema yang digarap Abdul Muis sudah menjurus ke persoalan sosial-politik dengan sudut pandang seorang nasionalis.
Tampil dengan sikap politik dan budaya yang jelas memihak bangsanya, Abdul Muis menyulut api konflik dan benturan kultural antara barat yang liberal dan longgar moral dengan timur yang masih setia menjaga adat, akhlak dan iman. Barat diwakili oleh masyarakat Belanda, kehidupan keluarga Corrie, gaya hidup dan tingkah polah Hanafi yang lebih barat daripada orang barat sendiri. Sedangkan timur diwakili oleh ibu Hanafi, Rapiah istrinya, ninik-mamak Hanafi dan orang-orang kampung yang memegang teguh adat yang bersendi syarak dan kitabullah. Di satu sisi, Abdul Muis mencuatkan citra, bahwa kehidupan ibu Hanafi dan Rapiah begitu sederhana, kuna, kolot, ketinggalan zaman, namun di balik pencitraan yang demikian, ada nada sinis terhadap liberalitas dan gaya hidup hedonistik yang
kemudian mendarah daging dalam kehidupan Hanafi.
Sinisme itu sungguh bisa kita amati, pada bagaimana Abdul Muis melukiskan kehancuran hidup Hanafi. Perkawinan Hanafi dengan Corrie yang jauh dari restu orang tua dan menyalahi adat-istiadat daerah, merupakan potret kehidupan yang penuh petaka. Segala salah asuhannya Hanafi pada gilirannya menjadi bumerang yang menghantam diri Hanafi sendiri.
Ending cerita yang tragik, yakni bunuh dirinya Hanafi karena terlanda stress berat akibat kematian Corrie yang merana dan ia tidak diterima di lingkungan adat ketika kembali, mencerminkan sikap pengarang yang oposan barat. Di sini pengarang memanfaatkan tragedi Hanafi sebagai kaca benggala, bahwa begitulah akibat orang menerlantarkan anak-istri dan mendurhakai ibu, melecehkan adat-istiadat. Tersirat suatu penilaian dan “message” di sana, bahwa pendidikan dan kultur barat itu tidak selamanya baik, bahwa sikap orang-orang tua dan orang-orang kampung yang mengesankan out of date itu, ternyata juga menyimpan kearifan tertentu dan keluhuran yang sungguh tidak layak dianginlalukan.
Bahasa, lukisan setting dan peristiwa dalam Salah Asuhan termasuk baru. Ia tidak lagi berasyik-asyik dengan nuansa kemelayuan yang penuh pepatah-petitih sebagaimana Siti Nurbaya karya Marah Rusli ataupun Sengsara Membawa Nikmat gubahan Tulis Sutan Sati.
Ia tidak hanyut oleh selera massa dan kemauan penguasa, berani tampil mandiri menentang arus mengunjukkan diri sebagai karya yang berpribadi. Salah Asuhan merupakan novel hati nurani, karena dalam novel ini, pengarang yang juga salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, berhasil tampil otentik, mampu menyuarakan kebenaran sesuai aspirasi hati-nuraninya, jauh dari sekadar upaya agar karangannya bisa naik cetak di Balai Pustaka.
*Dari berbagai sumber
Sangat berbeda dengan roman-roman Azab dan Sengsara, Siti Nurbaya dan semacamnya, karya Asbdul Muis yang cemerlang ini tidak lagi mengacu ke ciri-ciri kemelayuan. Tema yang digarap Abdul Muis sudah menjurus ke persoalan sosial-politik dengan sudut pandang seorang nasionalis.
Tampil dengan sikap politik dan budaya yang jelas memihak bangsanya, Abdul Muis menyulut api konflik dan benturan kultural antara barat yang liberal dan longgar moral dengan timur yang masih setia menjaga adat, akhlak dan iman. Barat diwakili oleh masyarakat Belanda, kehidupan keluarga Corrie, gaya hidup dan tingkah polah Hanafi yang lebih barat daripada orang barat sendiri. Sedangkan timur diwakili oleh ibu Hanafi, Rapiah istrinya, ninik-mamak Hanafi dan orang-orang kampung yang memegang teguh adat yang bersendi syarak dan kitabullah. Di satu sisi, Abdul Muis mencuatkan citra, bahwa kehidupan ibu Hanafi dan Rapiah begitu sederhana, kuna, kolot, ketinggalan zaman, namun di balik pencitraan yang demikian, ada nada sinis terhadap liberalitas dan gaya hidup hedonistik yang
kemudian mendarah daging dalam kehidupan Hanafi.
Sinisme itu sungguh bisa kita amati, pada bagaimana Abdul Muis melukiskan kehancuran hidup Hanafi. Perkawinan Hanafi dengan Corrie yang jauh dari restu orang tua dan menyalahi adat-istiadat daerah, merupakan potret kehidupan yang penuh petaka. Segala salah asuhannya Hanafi pada gilirannya menjadi bumerang yang menghantam diri Hanafi sendiri.
Ending cerita yang tragik, yakni bunuh dirinya Hanafi karena terlanda stress berat akibat kematian Corrie yang merana dan ia tidak diterima di lingkungan adat ketika kembali, mencerminkan sikap pengarang yang oposan barat. Di sini pengarang memanfaatkan tragedi Hanafi sebagai kaca benggala, bahwa begitulah akibat orang menerlantarkan anak-istri dan mendurhakai ibu, melecehkan adat-istiadat. Tersirat suatu penilaian dan “message” di sana, bahwa pendidikan dan kultur barat itu tidak selamanya baik, bahwa sikap orang-orang tua dan orang-orang kampung yang mengesankan out of date itu, ternyata juga menyimpan kearifan tertentu dan keluhuran yang sungguh tidak layak dianginlalukan.
Bahasa, lukisan setting dan peristiwa dalam Salah Asuhan termasuk baru. Ia tidak lagi berasyik-asyik dengan nuansa kemelayuan yang penuh pepatah-petitih sebagaimana Siti Nurbaya karya Marah Rusli ataupun Sengsara Membawa Nikmat gubahan Tulis Sutan Sati.
Ia tidak hanyut oleh selera massa dan kemauan penguasa, berani tampil mandiri menentang arus mengunjukkan diri sebagai karya yang berpribadi. Salah Asuhan merupakan novel hati nurani, karena dalam novel ini, pengarang yang juga salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia, berhasil tampil otentik, mampu menyuarakan kebenaran sesuai aspirasi hati-nuraninya, jauh dari sekadar upaya agar karangannya bisa naik cetak di Balai Pustaka.
*Dari berbagai sumber