Sekilas J. Iwan Simantupang
J. Iwan Simantupang
Kejutan lain tentu kita rasakan manakala kita menekuni novel-novel Iwan Simantupang. Novel-novel Iwan adalah novelisme, pengaruh pikiran-pikiran barat ( Nietshe, Albert Camas, Y.P. Sastra. Sikap radikal dan njlist menghadapi hidup, sikap jumawa menghadapi penderitaan dan keterasingan, sehingga tragedi pun terasa indah, diungkapkan sang novelis dalam bahasa yang pada, sugestif, efektif, ekspresif, dengan maju mundur dan meloncat-loncat.
Novel Iwan adalah novel keindahan tragedi. Tokoh utama novel-novel Iwam adalah orang-orang yang dipencundangi nasib celaka dan babak belur oleh gencatan kehidupan yang keras, namum mereka tidak memelangsai semua itu. Tokoh kita ciptaan Iwan adalah orang-orang yang tetap survive kendati tidak makan berminggu-minggu, sanggup melakukan hal-hal yang tidak umum, bisa secara mutlak menyertai prinsip hidup yang nyleneh. Ketaataan beribadah memang tidak nampak dalam perjalanan hidup tokoh-tokoh Iwan,- kecuali Maris pada penghujung novel Merahnya Merah yang menjadi biarawati itu – namum pengakuan keterbatasan manusia dihadapkan ALKhalikm tetap kita jumpai di sana. Di samping kediriaanya yang perkasa, tokoh-tokoh Iwan juga terbuka berbagai kelemahan.
Iwan memang tepat disebut sebagai masternya fiksi susastra absur Indonesia. Telah ia ciptakan sastra sebagai duna jungkir balik dan terror mental sebelum Budi Darma dan PutuWijaya melakukannya. Kehadirannya telah benar-benar memoleskan Warna baru di langit kesusastraan Indoensia, dengan model katya dan gaya yang belum pernah diciptakan para pendahulunya dan mungkin penyusulnya.
Kita cermati Merahnya Merah. Tokoh kita, MariaFifitrio utama novel ini – adalah profil gelandangan sejati yang nyaris tanpa apa-apa. Dan siapa-siapa, karena telah banyak dan cenderung kehilangan dalam hidup. Namum, mereka toh tetap mampu bertahan tegar di tangan metropolitan yang pernah deru, di sebuah perkampungan kumuh. Semula mereka bertiga – di tengah masyarakat gelandangan-bisa hidup rukun dan damai. Namun kemudian runtuhlah bangunan kebahagian itu manakala api kecemburuan membakar Maria.
Dia saksikan di sebuah malam tokoh kita berhanyut-ria bersama Fifi kecil. Hilangnya kemudian Fifi – yang kemudian diketahui di bunuh Maria-hilangnya, kemudian Maria – banyak kemudian diketahui bertobat dan menjadi biarawati-. Di tangah kemelut hilangnya Fifi, hilang pulalah si gelandangan tokoh kita, yang dulu pernah menjadi komandan kompi dan algojo pemacung kepala pengkhianat tertangkap. Hilangnya tokoh kita sempat membaut metropolitan terguncang, murung, dan kalang kabut. Cerita akhirnya sampai pada tragesi berdarah, karena dalam pertarungan sengit melawan pak centeng, tokoh kita tewas terpancang, sementara pak centeng sendiri dihabisi oleh inspektur polisi.
Iwan mengolah semua itu dalam racikan kata dan teknik ungkap yang benar-benar sugestif, dramatis, menyentuh. Di tangan seorang Iwan, novel yang sesungguhnya bisa disponsasikan karena konvensionalitas materi ceritanya itu, bisa begitu kaya akan renungan-renungan filosifis tentang gelandangan, kemiskinan, keterasingan, penderitaan, cinta kasih, kemanusiaan, kematian, keinsafan dosa, sejumlah absurditas. Pengalaman hidup yang dasyat, seperti algojo pemancung kepala pengkhianatan terungkap yang terguncang jiwanya, lalu menjadi penghuni rumah sakit jiwa, tidak tahan dan lebih memilih menjadi gelandangan, gadis baik-baik diperkosa, lalu menjadi pelacur, germo dan pembunuh, yang lalu bertobat dan menjadi biarawati, hadir dalam Merahnya Merah bukan semata sebagai peristiwa yang ikut ambil; bagian membentuk dunia alternatif yang menggugah batin pembaca.
Di samping Iwan Siamantupang, bisa kita sebut Budi Darma, Putu Wijaya, dan Danarto, sebagai pengarang-pengarang absur. Namum, absurditas masing-masing tetap menampilkan ciri-cirinya yang khas. Tampil dengan karya yang inovatif dan otentik, keempat memunculkan gaya dan versi pengucapan yang berbeda satusama lain, tanpa manafikan kemungkinan adanya beberapa kesamaan.
Kejutan lain tentu kita rasakan manakala kita menekuni novel-novel Iwan Simantupang. Novel-novel Iwan adalah novelisme, pengaruh pikiran-pikiran barat ( Nietshe, Albert Camas, Y.P. Sastra. Sikap radikal dan njlist menghadapi hidup, sikap jumawa menghadapi penderitaan dan keterasingan, sehingga tragedi pun terasa indah, diungkapkan sang novelis dalam bahasa yang pada, sugestif, efektif, ekspresif, dengan maju mundur dan meloncat-loncat.
Novel Iwan adalah novel keindahan tragedi. Tokoh utama novel-novel Iwam adalah orang-orang yang dipencundangi nasib celaka dan babak belur oleh gencatan kehidupan yang keras, namum mereka tidak memelangsai semua itu. Tokoh kita ciptaan Iwan adalah orang-orang yang tetap survive kendati tidak makan berminggu-minggu, sanggup melakukan hal-hal yang tidak umum, bisa secara mutlak menyertai prinsip hidup yang nyleneh. Ketaataan beribadah memang tidak nampak dalam perjalanan hidup tokoh-tokoh Iwan,- kecuali Maris pada penghujung novel Merahnya Merah yang menjadi biarawati itu – namum pengakuan keterbatasan manusia dihadapkan ALKhalikm tetap kita jumpai di sana. Di samping kediriaanya yang perkasa, tokoh-tokoh Iwan juga terbuka berbagai kelemahan.
Iwan memang tepat disebut sebagai masternya fiksi susastra absur Indonesia. Telah ia ciptakan sastra sebagai duna jungkir balik dan terror mental sebelum Budi Darma dan PutuWijaya melakukannya. Kehadirannya telah benar-benar memoleskan Warna baru di langit kesusastraan Indoensia, dengan model katya dan gaya yang belum pernah diciptakan para pendahulunya dan mungkin penyusulnya.
Kita cermati Merahnya Merah. Tokoh kita, MariaFifitrio utama novel ini – adalah profil gelandangan sejati yang nyaris tanpa apa-apa. Dan siapa-siapa, karena telah banyak dan cenderung kehilangan dalam hidup. Namum, mereka toh tetap mampu bertahan tegar di tangan metropolitan yang pernah deru, di sebuah perkampungan kumuh. Semula mereka bertiga – di tengah masyarakat gelandangan-bisa hidup rukun dan damai. Namun kemudian runtuhlah bangunan kebahagian itu manakala api kecemburuan membakar Maria.
Dia saksikan di sebuah malam tokoh kita berhanyut-ria bersama Fifi kecil. Hilangnya kemudian Fifi – yang kemudian diketahui di bunuh Maria-hilangnya, kemudian Maria – banyak kemudian diketahui bertobat dan menjadi biarawati-. Di tangah kemelut hilangnya Fifi, hilang pulalah si gelandangan tokoh kita, yang dulu pernah menjadi komandan kompi dan algojo pemacung kepala pengkhianat tertangkap. Hilangnya tokoh kita sempat membaut metropolitan terguncang, murung, dan kalang kabut. Cerita akhirnya sampai pada tragesi berdarah, karena dalam pertarungan sengit melawan pak centeng, tokoh kita tewas terpancang, sementara pak centeng sendiri dihabisi oleh inspektur polisi.
Iwan mengolah semua itu dalam racikan kata dan teknik ungkap yang benar-benar sugestif, dramatis, menyentuh. Di tangan seorang Iwan, novel yang sesungguhnya bisa disponsasikan karena konvensionalitas materi ceritanya itu, bisa begitu kaya akan renungan-renungan filosifis tentang gelandangan, kemiskinan, keterasingan, penderitaan, cinta kasih, kemanusiaan, kematian, keinsafan dosa, sejumlah absurditas. Pengalaman hidup yang dasyat, seperti algojo pemancung kepala pengkhianatan terungkap yang terguncang jiwanya, lalu menjadi penghuni rumah sakit jiwa, tidak tahan dan lebih memilih menjadi gelandangan, gadis baik-baik diperkosa, lalu menjadi pelacur, germo dan pembunuh, yang lalu bertobat dan menjadi biarawati, hadir dalam Merahnya Merah bukan semata sebagai peristiwa yang ikut ambil; bagian membentuk dunia alternatif yang menggugah batin pembaca.
Di samping Iwan Siamantupang, bisa kita sebut Budi Darma, Putu Wijaya, dan Danarto, sebagai pengarang-pengarang absur. Namum, absurditas masing-masing tetap menampilkan ciri-cirinya yang khas. Tampil dengan karya yang inovatif dan otentik, keempat memunculkan gaya dan versi pengucapan yang berbeda satusama lain, tanpa manafikan kemungkinan adanya beberapa kesamaan.