26/02/2014

Nama yang layak di catat sebagai pengarang avanta garde setelah periode danarto adalah Seno Gumira Ajidarma, disamping Hamsad Rangkuti, Hamid Jabbar, dan lain-lain. Manusia Kamar, cerpen Seno yang juga digunakan sebagai judul buku kumpulan cerpen, memperlihatkan tragedi manusia modern yang selalu merasa terteror oleh keadaan sekeliling yang dianggap penuh penipuan, kemunafikan, kriminalitas dan kemaksiatan. Jadilah sang pelaku utama sebagai manusia yang terbelenggu oleh dirinya sendiri, karena ia selalu berikhtiar sesedikit dan sesebentar mungkin berkomunikasi dengan orang lain. Ia tenggelamkan dirinya di kamar untuk waktu tidak terbatas.


Namun, tinggal di kamar di sebuah rumah yang hanya berpintu satu, sang tokoh ternyata sempat mencatat prestasi cemerlang dan meraih keterkenalan dalam bidang penulisan dan karang-mengarang, sesuatu yang rasanya nyaris nonsens. Disamping itu ia pun tidak pernah ketinggalan zaman. Ia bisa hidup mewah dengan peralatan rumah tangga serba modern serta tak pernah mengalami kesulitan dalam hal-hal keseharian. Ia selalu aktif menyerap lalu-lintas informasi dan ilmu pengetahuan lewat media tertentu tanpa harus keluar rumah. Ia selalu menolak ditemui dan berkomunikasi secara wajar.


Apakah makna semua itu? Ini merupakan potret kajiwaan manusia modern yang dilanda krisis kepercayaan terhadap manusia lain. Ia merasa khawatir terusik. Dalam banyak hal ia merasa cukup kuat, sehingga tidak membutuhkan bantuan orang  lain. Ia mengolah eksistensi dirinya dengan mengisolasi diri secara total.


Berbahagiakah ia dengan semua itu? Aku lirik tidak tahu. Setelah lama manusia kamar malang melintang dengan karya-karyanya yang mendominasi media massa dan penerbitan dengan sejumlah penghargaan tingkat nasional, popularitasnya pun surut tertimbun oleh mengorbitnya sosok-sosok lain. Manusia kamar hilang lenyap dari percaturan. Ketika aku lirik melacak ke tempat tinggalnya, pintu kecil satu-satunya terkunci rapat dan makanan rantang pun sudah tidak lagi diantar lewat pintu itu. Muncullah dugaan pahit : jangan-jangan sang manusia kamar telah mati iseng sendiri.


Seno Gumira Ajidarma alias Mira Sato, lahir di Boston 1958, adalah pengarang muda yang melimpah ruah dengan cerita-cerita penuh keaeng-aengan. Tersebar luas di berbagai media, sebagian besar karyanya sangat suntuk oleh penghayatan sosial dengan titik tekan pengungkapan kehidupan orang-orang papan bawah. Cerpennya yang berjudul “Ggrrhhh”, yang dimuat di Kompas Minggu tahun 1986, menceritakan kebangkitan penjahat-penjahat jalanan yang dihabisi oleh petrus (penembak misterius) setelah menjadi semacam zombie. Mereka membuat teror di jalan-jalan, terutama di depan pembuat daftar hitam dan petugas penembakan. Zombie yang tubuhnya terus mengeluarkan cairan dan rubuhan ulat yang terus kruget-kruget itu, tidak bisa ditumbangkan oleh senapan mesin biasa. Untuk meredam aksi teror mereka, dibutuhkan ratusan rudal.


Ggrrhh mengkritik praktek eksekusi oleh petrus terhadapa para penjahat di jalan-jalan, yang dianggap kurang pas untuk sebuah negara hukum. Seno mencium, di antara sekian puluh yang dieksekusi, lalu dikuburkan dalam satu kubangan raksasa, ada penjahat kelas teri yang terlalu berlebihan untuk divonis mati.


Tragedi dan Suaminya Sukab dan Teriakan di Pagi Buta merupakan potret tajam penderitaan orang-orang kecil. Secara dramatis, kedua cerpen tersebut mengalunkan elegi orang-orang dari dunia papan bawah yang tergencet dan keok oleh kehidupan metropolitan yang brutal dan tidak pedulian terhadap nasib orang lain. Sementara itu cerpen Becak Terakhir di Dunia atawa Rambo menampilkan ironi-ironi getir nasib malang tukang becak dan konflik-konflik mereka dengan petugas angan-angan mereka yang jauh melambung, serta penyelesaian problem penggarukan dan pelarungan becak alias penghapusan lapangan kerja si tukang becak yang ebih hanya sampel. Dalam pada itu cerpen Seno yang berjudul Helikopter dan Hidung Seorang Pegawai Negeri atawa The Phinochio Deases, dengan gaya pengucapannya yang kocak dan surrealistik, menyindir telak kehidupan orang-orang kaya yang over akting, pandir, dan akhirnya kena batunya.


Seno Gumira Ajidarma, sebagaimana Hamsad Rangkuti, Satyagraha Hurip, Gerson Poyk, adalah pencerita yang enak. Ide-idenya begitu beragam, loncatan-loncatan imajinasinya amatlah lincah. Cerpen-cerpennya yang berjudul Guru Sufi Lewat, Manusia Gundu, Midnight Express. Bahasanya yang plastis dan dialognya yang mengalir lancar, menelantarkan cerpen-cerpennya begitu mempesona dan sungguh layak diperhitungkan.


Demikianlah, jika kita cermati contoh novel-novel avant garde yang ada, demikian juga cerpen-cerpennya serta bentuk sastra lainnya, selalu kita saksikan di sana sesuatu yang baru, sesuatu yang bukan keseharian, yang segar dan progres. Mereka bukakan cakrawala-cakrawala lain yang belum pernah kita jumpai. Ada pula dunia jungkir-balik di sana. Namun sebagai dunia alternatif dan dunia simbol yang di samping merupakan ekspresi kreatif keberadaan pengarang juga mewujudkan proses komunikasi sosial mereka, karya sastra bukanlah seni eksklusif yang asyik dengan dirinya sendiri tanpa memperhitungkan eksistensi pembaca. Sastra avant garde dan sastra absur memanglah sebuah dunia otonom yang punya sistem logika internal, yang aoeng-aeng yang berbeda dan mungkin menyebal dari nilai-nilai keawaman dan konvensionalitas, namun mereka sebenarnya selalu punya kaitan erat dengan dunia lain di luar diri mereka, yakni dunia realitas dan dunia kewajaran. Sastra avant garde dan dan sasatra absur sesungguhnya sangat dekat, bahkanmenyatu dengan kehidupan ini, karena kehidupan ini sendiri pun mengandung pula absuritas, kemultidimensionalan dan keserbamungkinan. Ada benang merah yang mempertautkan antara seni avant garde dan absur dengan dunia srbamungkin dan kehidupan multidimensi.


Dunia jungkir-balik Budi Darma dn Putu Wijaya, absurditas Iwan Simatupang dan Danarto, ternyata punya kandungan nilai sosial yang tidak kalah tajam dan intens dibandingkan puisi-puisi kritik sosial Rendra dan Emha Ainun Anjib. Sesungguhnyalah seni avant garde dalam fiksi susastra Indonesia, tidak pernah meninggalkan masyarakat. Mereka justru mengocok dan mengaduk-aduk kondisi rutin masyarakat dengan terobosan-terobosan baru yang menjangkau ke depan, yang lebih tegar menghadapi empasan masa dan inpitan uang.


dari: Ikhtisar Sejarah Sastra oleh Yant Mujiyantono

Sang Gerimis . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates