BALAI PUSTAKA DAN PERBENTURAN BUDAYA
Pada hakikatnya masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan besar terhadap cerita dalam berbagai bentuk, lisan dan tertulis, baik dari pihak pencerita maupun publiknya. Ketika bentuk-bentuk sastra Barat seperti novel, seni, biografi dan sebagainya diperkenalkan dan digelorakan oleh Balai Pustaka, pihak editor tidak kekurangan bahan. Di samping terjemahan bacaan Barat populer, timbul novel-novel asli yang pertama yang kemudian diikuti dengan puluhan yang lain.
Novel-novel kurun waktu ini kebanyakan mempunyai latar belakang masyarakat Minangkabau. Di atas telah diungkapkan bahwa sebagian besar pengarang pada waktu itu berasal dari daerah tersebut. Sebagai pencerminan daripada masalah-masalah yang hangat dalam masyarakat, novel-novel itu menceritakan tentang pembenturan antara yang kuna dengan yang baru, tua dengan muda, kungkungan adat dengan kebebasan dalam memiliki teman hidup. Novel-novel seperti Azab dan Sengsara, Siti Nurbaya, Karena Mentua dan banyak lagi yang lain, semuanya membahas tema tersebut. Sebagian memberi pemecahan yang positif, di mana adat akhirnya dapat dipadukan dengan tuntutan zaman, misalnya dengan jalan musyawarah dan mufakat, tetapi banyak juga yang berakhir dengan nasib yang menyedihkan bagi para tokoh utama karena kaum tua tidak mau menemani aspirasi generasi muda dan tidak menyadari bahwa zaman sudah berubah.
Di samping novel-novel Balai Pustaka yang biasanya disebut sebagai ciri zaman awal kesusastraan Indonesia Modern, masih banyak buku-buku lain yang beredar, yang ikut berperan sebagai titik permulaan suatu ungkapan kebudayaan yang di kemudian hari melahirkan novel Indonesia Modern. Khususnya di Medan dan Padang, buku-buku ini mendapat pasaran yang baik dan dapat melayani suatu kebutuhan dalam masyarakat. Pada umumnya buku-buku tersebut tidak terlalu tinggi, tetapi pokok ceritanya serta bahasanya dekat kepada kehidupan sehari-hari rakyat banyak, di antaranya cerita detektif, biografi, kisah petualangan, dan cerita romantis. Sebagian karya Hamka, sebelum diterbitkan oleh Balai Pustaka sudah terlebih dahulu muncul dalam bentuk ini yang disebut juga sebagai roman picisan. (karena harganya yang memang sangat murah) Ulasan yang lebih mendalam tentang jenis sastra yang menarik ini pernah dibuat oleh Sitti Faisah Rivai, Amir Hamzah dan Armijn Pane. Ulasan-ulasan tersebut terbit dalam majalah Pujangga Baroe Desember 1949 dan Januari 1941.
Novel Belenggu terutama mengagetkan masyarakat masa itu karena di sana diungkapkan keadaan, renungan-renungan, dan motivasi-motivasi manusia secara terbuka, tanpa ulasan-ulasan konvensional yang masih merupakan pola sebagian besar cerita populer. Segi kejiwaan yang diungkapkan dalam novel ini merupakan suatu pembaharuan utama di bidang kesusastraan Indonesia. Ia membicarakan kebingungan dan ketidakberdayaan manusia di zaman modern.
ANGKATAN BALAI PUSTAKA adalah nama kelompok sastrawan dan karya-karyanya berdasarkan ciri-cirinya yang didominasi sifat-sifat kemelayuan dalam bahasanya, adanya potret sosial yang menjunjung tinggi tradisi dengan tema-tema pertentangan adat dan kawin paksa, kecenderungan didaktis, serta bebas dari unsur-unsur politik dan agama. Hal ini selaras benar dengan isi nota Rinkes yang merupakan prasyarat bagi karya-karya sastra masa itu. Agar dapat menembus tembok penerbit Balai Pustaka, yakni:
- Netral dari misi dan ajaran agama.
- Netral dari percaturan/propaganda politik.
- Memiliki nilai didik/bersifat edukatif.
Penamaan Angkatan Balai Pustaka terjadi karena karya-karya mereka dimuat dan diterbitkan oleh Balai Pustaka, dengan catatan, tidak setiap pengarang yang bukunya diterbitkan oleh Balai Pustaka pasti disebut sebagai sastrawan Angkatan Balai Pustaka. Kita mesti melihat isi dan masanya lebih dulu, sebab sampai sekarang pun penerbit Balai Pustaka masih menerbitkan buku-buku sastra, sebagaimana Pustaka Jaya, Gramedia Pustaka Utama, Pustaka Firdaus, Pustaka Mizan, Bentang Budaya, Navila, dan sebagainya. Angkatan Balai Pustaka hanya merupakan periode sastra antara tahun 1920-1933.
Sebagai penutup uraian tentang sastra sebelum perang disebut di sini dua orang pengarang yang karyanya merupakan tonggak sejarah dalam perkembangan sastra Indonesia Modern yakni Amir Hamzah dengan puisinya Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi serta Armjin Pane dengan novelnya Belenggu.
Dalam bukunya tentang Amir Hamzah, H.B. Jassin, kritikus utama sastra Indonesia menyebut Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru (1962). Penyair muda yang berbakat ini di masa revolusi pada tahun 1946 telah terbunuh oleh sekelompok pemuda di daerah Binjai, karena ia termasuk keluarga bangsawan kerajaan Langkat, Sumatera Utara. Sungguh suatu peristiwa tragis dan ironis bahwa sebagai penyair nasionalisme yang sepenuhnya menjiwai cita-cita kebangsaan itu harus meninggal karena kesalahpahaman dan ketidaktahuan. Akan tetapi, Teeuw menyebutkan bahwa kematiannya merupakan lambang pengurbanannya dalam perbenturan antara adat serta kewajiban tradisi di satu pihak dan kebebasan individu di lain pihak yang telah dijalani oleh Amir Hamzah seperti yang terlihat dalam puisinya.
Karya Amir Hamzah dijiwai oleh rasa ketuhanan yang amat mendalam dan dipengaruhi oleh karya pujangga sufi Persia. Pengetahuannya yang luas mengenai sastra, bahasa, dan kebudayaan daerahnya memberi warna yang khas kepada sajak-sajaknya. Salah satu sumbangannya yang terbesar ialah bahwa ia telah berhasil menciptakan gaya bahasa yang baru dalam karyanya, dengan kepadatan dan ketajaman ekspresi yang sebelumnya tidak pernah dihasilkan penyair lain, sekaliber Muhammad Yamin, atau Sutan Takdir Alisyahbana. Hal ini dikatakan oleh Chairil Anwar dalam suatu pembicaraannya (Jassin, 1962:7). Dengan demikian ia telah membuktikan bahwa bahasa Indonesia memiliki kemungkinan-kemungkinan untuk dikembangkan menjadi sarana ekspresi sastra modern.
Belenggu, hasil cipta sastra Armijn Pane mula-mula ditolak oleh Balai Pustaka karena isinya tidak sesuai dengan paham-paham konvensional yang dianut oleh para pengarah Balai Pustaka. Setelah dipublikasikan dalam Poejangga Baru pun novel tersebut menimbulkan banyak reaksi yang menentang, khususnya karena dianggap tidak sesuai dengan norma susila Indonesia.
Sumber:
1. Kesusasteraan Indonesia Jilid I dan II oleh B. Simorangkir (1952)
2. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia oleh Yant Mujiyantono (2005)